Suatu hari Syeikh 'Abdul Qadir Al-Jailani qs. ingin mendidik anaknya, "Wahai anakku, berdiri dan berceramahlah."
Si anak kemudian berceramah dgn sangat bagus. Namun, tidak ada seorang pun yg menangis dan merasa khusyu'. Mereka bahkan bosan mendengar ceramahnya.
Setelah anaknya selesai berceramah Syeikh 'Abdul Qadir naik ke mimbar lalu berkata, "Para hadirin, tadi malam, isteriku, ummul fuqoro menghidangkan ayam panggang yg sangat lezat, tapi tiba-tiba seekor kucing datang dan memakannya."
Mendengar ucapan ini, para hadirin menangis, bahkan sampai ada yg histeris.
Si anak berkata, "Aneh..., aku bacakan kepada mereka ayat-ayat Quran, Hadits-hadist Nabi, Syair dan berbagai Akhbar, tak ada seorang pun yg menangis. Tapi, ketika ayahku menyampaikan ucapan yg tidak ada artinya, mereka justru menangis. Sungguh aneh, apa sebabnya..?"
**
Inti dari dakwah/ceramah (baca: ilmu) itu bukan terletak pada susunan kalimat, tapi pada Kesucian dan Kebeningan Hati yg didasari oleh sifat Shiddiq si pembicaranya.
Ucapan atau tulisan hanya alat, bagus tidaknya bukan jaminan 'tembusi' qalbu. Ilmu itu komunikasi dari qalbu ke qalbu, bukan sekedar otak ke otak, pikiran ke pikiran. Dan iImu itu bukan sekedar pengetahuan.
Banyak 'makna' dan 'esensi' yg sulit diutarakan dengan keterbatasan ucapan dan tulisan, hanya bisa lewat 'komunikasi' secara batiniah antar qalbu.
Kalau dalam tasawuf, seperti halnya istilah Dzikir Sirr, dzikir tanpa huruf tanpa kata. Sulit bahkan tidak bisa diterangkan secara verbal.
Rasulullah SAW bersabda:
"Ilmu adalah cahaya (nur)."
Jadi dalam konteks qalbu, menjadi sebuah kesia-siaan jika qalbu yg menjadi sumber ilmunya (cahaya) masih sifat-sifat Kegelapan, seperti adanya unsur riya, ujub, takabur (sombong) dan merasa dirinya paling benar, sekalipun kata-kata yg dikeluarkan bersumber dari Kitab Suci.
Mudah-mudahan bisa "menemukan makna dibalik bentuk", dan juga bisa menjadi orang berilmu tapi tidak bodoh dalam menyampaikan ilmu.
Semoga..
#ombad #tasawuf