19 October 2018

TENTANG TIFLUL MA'ANI

Wa ayyadnaahu bi Ruuhil Qudusi..

Ku-perkuat manusia dengan Ruh al-Qudsi.” (QS. 2 : 87)

Ruh al-Qudsi menunjukkan kondisi ruh ketika di alam awal melakukan perjanjian kepada Tuhannya. 'Alastu bi rabbikum?` Qaalu, bala syahidna..’

Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (QS.7 : 172).

Suatu kondisi dimana ruh-ruh bisa ‘melihat wajah’ Tuhannya dengan berhadapan. Hal ini diperjelas juga dengan ayat,

"Wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat." (QS. 75 : 22-23).

Ruh al-Qudsi ini menunjukkan suatu kualitas ruh seseorang, dalam arti kualitas ini adalah semua hijab-hijab Qudsiyyah-nya terbuka. Ruh yang paling halus dibanding ruh-ruh lainnya. Yang selalu mengajak kembali kepada Allah SWT (Wushul). Ruh yang ‘tidak dimiliki’ (terbukakan) oleh sembarang orang dan hanya orang-orang khawash yang berhak memilikinya.

Rasulullah SAW bersabda, Allah berfirman :

Hai hamba-Ku, bila engkau ingin masuk ke Haramil-Ku (Haramil Qudsiyah), maka engkau jangan tergoda oleh Mulki, Malakut, Jabarut karena alam Mulki adalah setan bagi orang Alim, Alam Malakut adalah setan bagi orang Arif dan Alam Jabarut adalah setan bagi orang yang akan masuk ke Alam Qudsiyah.” (Hadist Qudsi)

Perlu diketahui, Wushul secara umum diartikan kembali kepada Allah SWT, tetapi dalam makna yang lebih khusus, Wushul kepada Allah adalah lepas dari selain Allah, tidak dekat dan tidak jauh, tanpa arah dan berhadapan, tanpa bertemu dan berpisah. Maha Suci Allah yang penampakan diri-Nya dalam ketertutupan-Nya. 

Hal ini seperti ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. :

Sesungguhnya Tuhanku tidak disifati dengan jauh, bergerak, diam, berdiri, datang dan pergi. Dia berada di dalam segala sesuatu tetapi tidak bercampur. Dia di luar segala sesuatu, tetapi tidak berpisah. Dia di atas segala sesuatu dan tidak sesuatupun berada di atas-NYA. Dia di depan segala sesuatu, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa dia berada di depan. Dia berada di dalam segala sesuatu, tetapi tidak seperti sesuatu di dalam sesuatu. Dia di luar sesuatu, tetapi tidak seperti sesuatu di luar sesuatu.”

Banyak juga ulama tasawuf yang mendefinisikan ini sebagai ‘al-Insan al-Haqiqi’ di Qalbu yang terdalam (Sirri). Karena berasal dari makna-makna yang suci (al-Ma’nawiyyat al-Qudsiyah), al-Insan al-Haqiqi ini juga sering dinamakan Thiflul Ma’ani (Bayi Ma’nawi).

Dasar dari pemberian nama Thiflul Ma’ani (yang bermakna Bayi) untuk Ruh al-Qudsi ini karena :

- Ia ‘lahir’ dari qalbu dan dirawat qalbu seperti bayi yang lahir dari rahim ibunya dan dirawat ibunya sampai tumbuh menjadi dewasa.

- Ia diajari berbagai hal tentang makrifat seperti anak-anak yang juga diajari berbagai hal.

- Ia bersih dari syirik, ghaflah (lalai kepada Allah) dan dosa-dosa pikiran, seperti bayi atau anak kecil yang juga bersih dari dosa.

- Ia disimbolkan seperti rupa anak yang tampan sebagaimana bersihnya jiwa seorang anak. Allah menyifati ahli surga dengan anak-anak (QS.52 : 24).

- Thiflul Ma’ani bersifat halus dan suci.

- Kiasan karena keindahannya.

Thiflul Ma’ani ini ‘muncul’ setelah melewati tahapan dzikir ke-4, al-Haqq. Seperti kita ketahui Tahapan dzikir dalam proses penyucian ini terdiri dari 12 tahapan (Laa Ilaaha Illallah, Allah, Hu, al-Haqq, al-Hayyun, al-Qayyum, al-Qahhar, al-Wahhab, al-Fattah, al-Wahid, al-Ahad  & ash- Shamad).

Thiflul Ma’ani adalah al-Insan al-Haqiqi karena ia bisa merasakan nikmatnya Musyahadah langsung kepada Allah SWT. Ia selalu ada di alam al-Qudrah dan menyaksikan Dzat Allah di alam Hakikat dan tidak berpaling pada selain Allah.

"Kalian akan melihat Tuhan kalian, seperti kalian melihat bulan pada malam purnama.” (HR. Bukhari)

(Bandung  21 Juni 2013, 20.09 WIB)

Semoga..
#ombad #tasawuf

16 October 2018

SEDEKAH LAUT

Allah SWT pun mengizinkan Nabi Sulaiman as. untuk bersedekah ke makhluk-makhluk lainnya, termasuk sedekah kepada ikan-ikan di laut. Mungkin kalau di Nusantara mah bisa dibilang sebagai SEDEKAH LAUT.. :)

Ada kisah dalam Kitab Durrotun Naashihiin Fii Al-Wa’izhin Wa Al-Irsyad (karya Syeikh ‘Utsman Asy-Syakir Al-Khowbawi, 13 H). Kisah yg mengutip dari Kitab Badi’u Al-Asror ini tercantum pada Majlis ke-59 hal. 218, tentang Hijrah Untuk Taat Pada Allah.

Dikisahkan..
Nabi Sulaiman as. ketika urusan dunia telah dilapangkan kepadanya seluas-luasnya, lalu ia pun memohon izin kepada Allah SWT untuk memberi rezeki seluruh makhluk yg biasa memperoleh rizki dari Allah, dalam jangka waktu setahun penuh.

Allah SWT kemudian berfirman kepadanya:

"Sungguh, engkau tidak akan mampu."

"Ya Allah, izinkanlah bagiku barang sehari saja..” Jawab Sulaiman.

Akhirnya Sulaiman pun diberi izin atas permohonannya untuk jangka waktu sehari.

Lalu Sulaiman pun memerintahkan seluruh bawahannya, baik dari umat manusia maupun bangsa jin, agar mereka mendatangkan seluruh makhluk yg menetap di atas bumi. Dan Nabi Sulaiman as pun memerintah para juru masak dan mendatangkan apa saja yg diperlukan. Dan mereka sibuk memasak selama 40 hari.

Makanan dijaga baik-baik, bahkan anak-anak kecilpun tidak diizinkan untuk mendekatinya agar tidak rusak. Lalu Sulaiman memerintahkan agar seluruh makanan dibariskan (diatur) di padang luas, dan panjangnya setara dengan jarak satu bulan perjalanan, dan lebarnya diperkirakan sama dengan panjangnya.

Setelah persiapan tersebut selesai, lalu Allah berfirman kepada Sulaiman :

Makhluk manakah yang akan mulai..?

Mereka yang menetap di darat dan di laut.” jawab Sulaiman

Allah pun memerintahkan ikan-ikan laut golongan yg besar agar memenuhi panggilan Sulaiman. Mereka pun mulai menyantap hidangan yg ada, sahut mereka:

Hai Sulaiman, pada hari ini Allah SWT telah menjadikan rezekiku atasmu (dari tanganmu).”

Silakan mengambil makanan yang ada.” jawab Sulaiman

Maka golongan ikan besar pun mulai bersantap, dan tak lama kemudian semua makanan telah habis, kemudian mereka pun berseru kepada Sulaiman :

Hai Sulaiman, kenyangkanlah perutku, kini aku masih merasa lapar."

"Belum kenyangkah kalian..?” sahut Sulaiman.

"Hingga saat ini aku masih belum terasa kenyang.." jawab mereka.

Dan seketika itu pula, Nabi Sulaiman pun tersungkur bersujud, dan berkata: "Maha Suci Allah SWT yang telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya." 

Jadi, jika masih ada orang-orang yg dengan pongahnya melabrak suatu budaya dengan alasan perbuatan musyrik, berarti mereka kurang memahami bahwa hukum fiqh pun mengakomodasi dan mengakui keabsahan 'Urf.. tentu dengan batasan tauhid. Dan yg harus diingat, bahwa tauhid itu urusan hati, artinya belum tentu orang-orang yg terbiasa melakukan budaya ('urf) seperti itu tidak bertauhid. 

Jangan-jangan kita sendiri yg negatif, lalu salah sangka dan kemudian menghakimi keimanan orang lain.


**

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada satupun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rezekinya telah ditetapkan oleh Allah.” (QS. Huud : 6)


Semoga..
#ombad #sedekah