18 December 2019

DUALITAS - PARADOKS - SINGULARITAS

Proses "menyatukan" sisi dualitas yang saling berlawanan (paradoksial) dalam perjalanan hidup/spiritual itu bisa menjadi tema yang menarik dan sedikitnya bisa memberi gambaran akan "tujuan" Tuhan dalam penciptaan makhluk. Dan lebih luas lagi adalah memahami makna atau esensi dari "ibadah" itu sendiri. 

Ketika bisa "menyatukan" kedua sisi yang berlawanan, biasanya akan berpengaruh terhadap pembentukan sikap yang positif, seperti Kelenturan, Fleksibilitas, Kedewasaan Berpikir dan Kearifan (Bijak). Jadi bisa dibilang, "penyatuan" ini adalah merupakan resep "anti kejumudan" dan bisa memaksimalkan potensi dalam arah menuju "kesempurnaan" sebagai manusia.

Jadi, kalau Kepintaran itu masih berbicara tentang "atau", maka Kearifan itu sudah mengakui "dan". Jika dihubungkan dengan intelektualitas, artinya Kearifan itu merupakan kematangan intelektualitas.

Dualitas dari unsur yang "paradoks" ini selalu ditemukan baik dalam bahasan agama ataupun budaya/tradisi. 

Dalam Hindu, ada unsur Shiva dan Shakti (Durga), ketika bisa "menyatukan" maka jadilah Ardhanareswara (penyatuan). Dan lahirlah anaknya, Ganesha (pengetahuan, gnosis).

Dalam Yahudi, ada unsur Ein Sof dan Sefirot. Penyatuan kedua unsur ini nanti akan berhubungan dengan "iluminasi" Zohar, jalan menuju Yahweh.
 
Dalam Zoroastrianisme (Majusi), ada unsur Ahriman (Angra Mainyu) dan Spenta Mainyu, lalu selanjutnya "memasuki" cahaya Ahura Mazda (Tuhan yang bijaksana).

Dalam Islam, ada unsur Jamaliyah (keindahan) dan Jalaliyah (kekuatan). Penyatuan kedua unsur ini nanti akan berhubungan dengan "mengenal" Allah, yaitu Makrifat

Dalam tradisi Cina, ada unsur Yin dan Yang, ketika bisa "menyatukan" maka jadilah Tao (kebenaran). 

Dalam tradisi Jawa, ada unsur Lanang dan Wadon (Lingga - Yoni), ketika bisa "menyatukan" maka jadilah Semar (kebijakan). 
 
Dan "titik tengah" dari semua itu adalah "kasih sayang" dan "cinta" (hubb, mahabbah), yang dalam konsep agama samawi digambarkan dalam sosok Isa putera Maryam (Jesus putera Maria). Dan "titik tengah" ini yang bisa menyatukan dualitas, sehingga mudah memasuki Singularitas, iya, "titik tengah" yang berupa Cinta Kasih. 

"Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk; ia merupakan padang-rumputnya menjangan, biaranya para rahib, rumahnya berhala, ka'bah tempat orang berthawaf, sabaknya Taurat, dan mushafnya al-Qur’an. Agamaku adalah Agama Cinta, yang kuikuti ke mana pun langkahnya; itulah agama dan keimananku.." (Muhyidin Ibn Arabi ra.)

"Yakinlah, di Jalan-Cinta itu: Tuhan akan selalu bersama-Mu.." (Mevlana Rumi ra.)

Itu makanya dalam tasawuf disebutkan, para salik (pejalan) itu tidak akan Ma'rifat jika tidak Mahabbah, dan begitu juga sebaliknya. 
 
Semoga..
#ombad #tasawuf 

Ket. Foto : 
Lukisan berjudul "Elysivm & Tartarvs" karya Ize Hawkeye .. dan tulisan di atas adalah analisis lukisannya.
 

16 December 2019

ADAM DAN MANUSIA PURBA

Dalam tinjauan Al-Quran, klasifikasi manusia itu ada 3 jenis, yaitu : 
 
1. Manusia sebagai AL-BASYAR, yaitu lebih ke "makhluk biologis" seperti halnya hewan, yaitu: ada bentuk atau postur tubuh, anggota badan, mengalami pertumbuhan atau perkembangan jasmani, makan, minum, melakukan hubungan seksual, beranak-pinak, dsb. 
 
2. Manusia sebagai AL-INSAN, yaitu manusia sebagai makhluk istimewa, ber-ilmu pengetahuan, punya nilai moral serta spiritual. Inilah inti dari manusia sebagai khalifah dan pemikul amanah (pemikul al-wilayah al-Ilahiyah).
 
3. Manusia sebagai AN-NAAS, yaitu manusia sebagai makhluk sosial yang harus bisa mengatur kehidupan sosialnya. 

Manusia purba itu poin 1 atau Al-Basyar saja, tetapi Adam adalah "manusia pertama" yang utuh, baik sebagai manusia Al-Basyar, Al-Insan maupun An-Naas. Dalam tasawuf ada istilah Al-Insan Kamil
 
Ibn Khaldun menggambarkan manusia purba ini sebagai alam kera (Alamul Qiradah), yang tidak memiliki kosa kata yang cukup untuk berkomunikasi (lebih ke bahasa isyarat atau simbol), juga penggunaan alat bantu yang sangat terbatas. 

Hal ini berbeda dengan Adam --sebagai "manusia pertama" di bumi-- yang sudah mampu berkomunikasi menggunakan bahasa lisan serta sudah dibekali ilmu pengetahuan.  

"Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat seraya berfirman, 'Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini jika kamu yang benar'.." (QS. Al-Baqarah: 31)

Artinya Adam, serta generasi selanjutnya sudah memiliki pengetahuan tinggi untuk hidup di dunia. Misal, Nabi Idris telah memiliki kemampuan menulis, 

"Ada seorang Nabi yang menulis di atas pasir." (HR. Muslim)
 
Dalam Hadist lain, 

".. Nabi Idris adalah manusia pertama yang menulis dengan pena.." 

Dalam Al-Quran, kata "An-Naas" lebih banyak dibanding kata "Al-Insan", apalagi dibanding kata "Al-Basyar". 

Hal ini menyiratkan bahwa kualitas manusia itu harus bisa menjadi "An-Naas" dimana ia bisa mengatur aspek-aspek sosial serta budaya di dalam kehidupannya. Hal ini bisa dicapai jika masing-masing diri bisa memunculkan dan menguatkan sifat "Al-Insan" nya, bukan sekedar jadi makhluk biologis "Al-Basyar" saja, karena betapapun primitifnya, manusia itu bisa melakukan segala sesuatu yang dilakukan binatang sehingga seringkali kelewat batas dan tak terkendali. 

Jadi, tinjauan Teori Evolusi itu lebih ke konteks "Al-Basyar" aja, ada "penyesuaian" karena terikat ruang dan waktu. Dan tentunya bisa berbeda jika dalam posisi "Al-Insan" ataupun "An-Naas" karena lebih timeless and spaceless. 

Semoga...
#ombad #tasawuf