05 September 2019

MASUK ITB (Part 2)

(Fase Cicadas)

Undangan syukuran masuk ITB akhirnya diberitahu ke rumah-rumah dan tahlilan pun dilakukan sesudah Asar.

Malamnya kami diskusi dan disarankan ikut numpang dulu di rumah adik bungsu Bapak di Cicadas untuk sementara, jangan lama-lama dan harus cari kontrakan (yang murah) tentunya. Tidak lupa menegaskan, "turun di Terminal Cicaheum, lalu naik bis kota Cibeureum, dan minta ke kondektur supaya diturunin di Cicadas".

Hari Sabtu pagi akhirnya berangkat menuju Bandung setelah sebelumnya saya disuruh tidur terlentang sama Emak lalu dilangkahin 3 kali.. Gak tau juga maksudnya apa.

Saya pun berjalan kaki seperti biasanya (30 menit) menuju terminal kecamatan sambil menenteng tas bekas penatarannya Bapak (bukan ransel) yang berisi beberapa helai baju, celana, serta surat/dokumen yang diperlukan.

Akhirnya sampailah di Terminal Cicaheum sekitar jam 13 an, lalu naik Damri Cibeureum, dan berhenti di Cicadas. Secarik kertas alamat bertuliskan "Mang Aip, Gg. Samsi II Cicadas" pun dilihat lagi.

Sambil bertanya-tanya, sampailah di lingkungan terpadat di dunia dan rajinnya bungkuk badan sambil "punten". Jalan putar-putar di gang sempit sambil nanya-nanya "rumahnya Mang Aip asal Garut" sudah hampir satu jam belum juga ketemu.

Saat udah hampir frustasi, keringatan dan lapar.. akhirnya.. pada waktu Asar ada orang memberitahu "ada juga nama AEP yang asalnya dari Garut, rumahnya di sana.." sambil ditunjukin. Dan benar akhirnya ketemu, paman yang tadinya bernama Aip jadi Aep.. duhh.. pantesan susah dicari.. jangan-jangan si bibi pun rubah namanya, waktu di kampung namanya Jeje sesudah di Cicadas berganti jadi Jenny.. mudah-mudahan aja saya gak disuruh manggil dia "tante".. 😂

Dan pengalaman baru berada di perumahan kumuh Gg. Samsi II pun teralami. Bagaimana kata "anying" begitu viralnya, dimana 40% kalimat selalu mengandung kata ini.. "Anying sia téh anying teu balég anying".. 😂
Ya, meskipun hidup di daerah beling, selalu ingat motto bahwa "preman juga manusia punya rasa punya hati jangan samakan dengan pisau belati".. 😂

Begitupun, bagaimana rasanya menahan BAB karena harus lama mengantri "WC umum" di atas selokan sambil bawa gayung dan bekal air satu ember.. udah gitu air selokannya pun kadang kering.. gak mengalir. Coba bayangin aja selama buang hajat harus gimana.. udah gitu gimana jika air satu ember gak cukup buat cebok.. Hidup di kampung aja gak gitu-gitu amat.. 😰

Paman Cicadas ini selain buruh pabrik tekstil di Leuwigajah, juga sepulang kerjanya ia dagang berbagai minuman, rokok, dsb pakai gerobak, mulai dari jam 17 - 23 an di depan bioskop misbar Taman Hiburan Cicadas. Saya seringkali diminta bantuin mendorong gerobak sepanjang 2 meter serta nungguin dagangannya.

Dilema.. iya.. sungguh dilema saat sedang menunggu gerobak dagangan ini.  Perasaan was-was dan khawatir pun sering muncul selama jagain dagangan, takut ada orang Garut yang kenal, lalu mereka ngomong di kampung :
"Lho.. cenah kuliah di itébé, ternyata dagang rokok di depan Taman Hiburan Cicadas.." 😰

Busyet deh.. bisa "wirang" nanti.. iya.. soalnya pernah sekali melihat orang sekampung yang kenal, saya pun cepat-cepat tundukan kepala agar terhalangi gerobak dan tak terlihat.. sungguh beruntung dia gak beli.. alhamdulillah.. 😂

Dua minggu.. selama kegiatan "100 jam P4" di kampus, kehidupan malam pun dilalui di pemukiman kumuh Cicadas serta di sekitar Taman Hiburan. Sekali-kali beli karcis bioskop misbar Taman Hiburan. Bioskop khusus kasta kelas 3 yang dulunya dibangun oleh J.F.W. de Kort ini sungguh berbau pesing.. ya ditahan aja sambil merokok.. lumayan kan Rp. 300 bisa 2 sampai 3 film lama, meski harus menolak beberapa kali "cewek ber-make up tebal.. dengan rokok di tangan.. menunggu tamunya.. datang", dan menawarkan diri seharga 5.000 rupiah saja.. 😍 

Untunglah.. siksaan lingkungan kumuh akhirnya selesai juga sewaktu di Kantor Pusat ITB ketemu sama teman sekelas SMA yang diterima di Fisika ITB dan memutuskan ngontrak sekamar berdua di Gg. Mesjid belakang pasar Balubur seharga Rp. 240.000.

Dan pengalaman baru lainnya pun menunggu untuk dijalani.

Semoga...
#ombad #itb #cicadas #biografi


04 September 2019

PARADOKS ITU MENYATUKAN

Proses "menyatukan" sisi dualitas yang saling berlawanan (paradoksial) dalam perjalanan hidup/spiritual itu bisa menjadi tema yang menarik dan sedikitnya bisa memberi gambaran akan "tujuan" Allah dalam penciptaan makhluk. Dan lebih luas lagi adalah memahami makna atau esensi dari "ibadah" itu sendiri.

Ketika bisa "menyatukan" kedua sisi yang berlawanan, biasanya akan berpengaruh terhadap pembentukan sikap yang positif, seperti Kelenturan, Fleksibilitas, Kedewasaan Berpikir dan Kearifan (Bijak). Jadi bisa dibilang, "penyatuan" ini adalah merupakan resep "anti kejumudan". Memaksimalkan potensi dalam arah menuju "kesempurnaan" sebagai manusia.

Jadi, kalau Kepintaran itu masih berbicara tentang "atau", maka Kearifan itu sudah mengakui "dan". Jika dihubungkan dengan intelektualitas, artinya Kearifan itu merupakan kematangan intelektualitas.

Dualitas dari unsur yang "paradoks" ini selalu ditemukan baik dalam bahasan agama ataupun budaya/tradisi.

Dalam Islam, ada unsur Jamaliah (indah) dan Jalaliah (kuat). Penyatuan kedua unsur ini nanti akan berhubungan dengan "mengenal" Allah, Makrifat.

Dalam Zoroastrianisme (Majusi), ada unsur Ahriman (Angra Mainyu) dan Spenta Mainyu, lalu selanjutnya "memasuki" cahaya Ahura Mazda (Tuhan yang bijaksana).

Dalam Hindu, ada unsur Shiva dan Shakti (Durga), ketika bisa "menyatukan" maka jadilah Ardhanareswara (penyatuan). Dan lahirlah anaknya, Ganesha (pengetahuan, gnosis).

Dalam tradisi Cina, ada unsur Yin dan Yang, ketika bisa "menyatukan" maka jadilah Tao (kebenaran).

Dalam tradisi Jawa, ada unsur Lanang dan Wadon, ketika bisa "menyatukan" maka jadilah Semar (kebijakan). Lingga - Yoni.

Dan masih banyak lagi contohnya. Eits.. jangan lupakan satu lagih.. yaitu penyatuan unsur Maskulin dan Feminin dalam diri manusia. Penyatuan ini selain bertujuan dalam mempermudah pemahaman yang paradoksial, juga merupakan aktualisasi dari sifat Allah "Al-Warist" (pewarisan, pendelegasian) dalam menciptakan atau melahirkan generasi penerus (baca: anak keturunan).

Nah.. biar para makhluk-Nya semangat dalam menjalankan "tugas" ini maka Tuhan pun memberi "bonus" kenikmatan yang aduhai dalam hal rasa.. dan dibikinlah cepat lupa, sehingga selalu ingin cepat mengulanginya lagi..

😊
Semoga....
#ombad #tasawuf

03 September 2019

KECANDUAN BACA

Semenjak masuk SD di umur 4.5 tahun, aksara latin adalah aksara kedua yang bisa dibaca setelah aksara arab. Saya pun punya hobby baru yaitu "obrak-abrik" isi "perpustakaan" Bapak.

Awalnya buku-buku ini numpuk di atas plafon dan tanpa sengaja ketemu anaknya yang baik, tidak sombong, murah senyum, cakep, wajahnya bercahaya, matanya berbinar, dsb tetapi suka naik-naik ke atap rumah akibat rasa ingin tahunya yang besar..

"Kok ada lantai dari bambu setinggi 2 meter dari lantai..?" pikirnya.. Ia pun ambil tangga bambu, naik, dan... HARTA KARUN terpampang di depan matanya !. Sampai akhirnya tempat inipun jadi tempat favoritnya buat baca-baca.. istilahnya "nyelegon" lah kalau dalam bahasa sunda mah.. seperti inilah kalau yang nulis paragraf ini adalah Aa Ibong.

Oh iya, waktu masuk SD, Bapak udah jadi Kepsek di SD yang lain.. buku-bukunya kebanyakan terbitan Departemen P & K, serta Balai Pustaka. Jangan-jangan, bokap "belokin" buku jatah sekolah nih.. duit dari mana beli buku sebanyak itu.. 😂
 
Awalnya, buku-buku cerita tipis berbahasa Indonesia dan Sunda. Seiring waktu, kegemaran baca ini pun jadi candu, untungnya hanya sampai tamat SD aja, karena buku-buku "perpustakaan" ini sudah habis dibaca, termasuk buku-buku "aneh" dan tebal-tebal yang disimpan di "para" (atas plafon).

Hasilnya, banyak yang membekas di kepala, termasuk karangan dari luar negeri, tentunya yang udah diterjemahkan.. kan not yet reading english.. mulai dari "Hans Andersen", "Uncle Tom's Cabin", bahkan Moby Dick dan Don Kisot..

Novel yang paling membekas di kepala mah karya-karya Poedjangga Lama, Hamka dan Motinggo Busye, khususnya Perempuan Paris, 1968.. 😊

Nah.. kalau buku tebal, yang begitu membekas di kepala itu adalah buku bersampul putih yang masih ejaan lama berjudul Ilmu Kebidanan & Ginekologi (objin).. suka banget sama gambar ilustrasinya, ada orang tiduran dengan berbagai posisi, kepala bayi nongol, penjepit kepala, dsb. Cuma anehnya karena tanpa pakaian aja.. Seru, rasanya seperti sedang menonton film.. dan buku inipun sudah tamat waktu jaman SD.. sampai sekarang gak paham kenapa Bapak punya buku ini, apa pernah bikin pelatihan paraji (dukun beranak) gitu.. atau malah pernah pacaran sama mahasiswi kedokteran..

Cuma sayang.. ada  jeleknya juga ketika sedang bermain sama temen sebaya di kampung. Saat menerangkan urusan mobil Ford di Amerika bahwa produksi per mobilnya itu lebih cepat dari merebus telor, hanya sekitar 3 menit/mobil.. ehh.. teman-teman pada tidak percaya, malah mereka ngomongnya, "Ah siah, gélo manéh mah...!"
Salah aku dimana coba.. masa dikatain gila meski udah diyakinkan sedemikian rupa pakai data dan fakta..? 😰

Untunglah.. sewaktu SMP dan SMA, kecanduan bacanya berkurang drastis.. kan malu atuh kalau disebut "kutu buku", emang aku cowok apaan..?

Kegiatan harian pun kembali normal, seperti main ke gunung dan pulangnya bawa bambu utuh 2-3 pohon, piknik ke kebon lalu pulangnya bawa jengkol atau alpukat setengah karung, berenang di sungai tanpa pakaian renang, ataupun sepak bola dari siang sampai maghrib.

Sayangnya sewaktu kuliah, mulai semester 3 saat kontrakan di Pelesiran, mulai "menggila" lagi kecanduan bacanya.. sungguh merugikan. Duit bulanan cepat habis sampai cekak.. iya.. sangat merugikan..! Dana buat makan pun habis agar bisa melahap buku-buku sewaan, bahkan tidur dan kuliahpun terganggu.. kadang 2-3 hari gak tidur, kadang juga seminggu gak ke kampus.. tersedot Cersil pertempuran buatan Kho Ping Ho, Khu Lung, Chin Yung, Wang, Gan KL, bahkan SH. Mintardja yang susah tamatnya. Bisa paham kan kenapa IPK di bawah 3.0..?

Alhamdulillah, akhirnya kecanduan baca pun bisa sembuh karena dua alasan; pertama, Cersilnya habis semua dibaca, gak ada lagi yang baru.. Kedua, muncul sesuatu yang baru, yaitu musik alias kecanduan beli kaset, dan satu lemari kaset pun berhasil terkumpul saat lulus kuliah.

Iya.. Tuhan Maha Adil, setidaknya saya paham bedanya Cinta dengan Kecanduan.. kalau Cinta dari mata turun ke hati, sedangkan Kecanduan itu dari mata pindah ke telinga.. dan lebih merugikan.
 

Semoga..
#ombad #biografi

01 September 2019

MASUK ITB

Sewaktu ada PMDK, dengan pede pilih Sipil dan Teknik Industri ITB, maklum.. kan di SMA termasuk satu atau dua besar.. 😂

Ehh.. ke laut dua-duanya.. dan stres mulai nongol, apalagi ortu bilang "urus sawah aja kalo gak masuk negeri, gak usah kuliah.." .. Aseeem.. masa top selebritis SD, SMP & SMA gak kuliah.. sementara yang nilainya di bawah, PMDK-nya ada yg masuk ITB, IPB, dll.

Oh iya.. perlu diketahui sejak jaman SD, sy itu bukan tipe "bintang pelajar".. jaman kuliah pun cukup bawa satu buku tulis yg dilipat dan disakuin di celana. Silakan tanya sama anak-anak Mesin yg kenal saya.

Kembali ke tanktop.. mulailah merasakan yang namanya panik. Sementara temen-temen yang status ekonominya bagus, banyak yang ikut bimbel ke Bandung.. iya ke Bandung.. dulu kayaknya belum ada di Garut.. kalaupun ada, tetap aja saya gak bisa ikut bimbel..

Akhirnya sy datangin temen-temen yang ikut bimbel dan fotokopi semua soal-soalnya. Dan selama 2 bulan, pertama kali dalam seumur hidup, saya belajar di kamar, keluar kamar kalau lapar atau isoma saja.

Bapak pun membawa sy ke seorang Kyai langitan, minta doa, dan akhirnya saya dapat PR tambahan.. baca doa tersebut sesudah sholat..

Biar tidak terlalu panjang karena kasihan sama ibu-ibu atau terlalu lebar karena kasihan sama bapak-bapak.. ikutlah UMPTN di Bandung, tempatnya di SMPN yg di Supratman.. dimana pilihan 1 Mesin dan pilihan 2 nya Fisika ITB.. meski sama Bapak disuruh pilih IKIP.. juga tidak mau pilih lagi yg kayak di PMDK.. sebel.

Beberapa minggu sesudahnya, sewaktu pengumuman kelulusan, kebetulan saya pun ada di kampung, Bapak pontang-panting nyari koran, sementara anaknya santai aja di rumah. Namanya juga di pelosok, bayangin aja.. tahun 87 an, udah mah di Garut.. Garutnya pun Garut coret lagi.. koran adalah sesuatu yang sulit.

Akhirnya Bapak datang sambil sumringah karena anak sulungnya yang paling ganteng lulus.. sambil menyerahkan fotokopi koran yang ada nama anaknya.. iya.. FOTOKOPI .. koran dilipat 2 kali lalu difotokopi. Dan ini pertama kalinya saya merokok di depan ortu, tidak sembunyi-sembunyi, sambil nawarin beliau, "rokok Pak.." dan kami berdua pun merokok bersama dengan bahagia.. 😂

Untunglah, besoknya saya ke rumah teman di kota.. pas lihat koran yg utuh ternyata ada pengumuman urusan daftar ulang dan P4 di kampus, 3-4 hari ke depan, dimana harus pakai seragam putih-putih.. yaahh.. atuhh.. cepet-cepet pulang dan besoknya datang lagi ke kota.. belanja baju, dsb.

Dan kedua nenek sayapun jadi corong speaker mendatangi setiap pengajian, dengan begitu bangganya ceritakan cucunya yang calon insinyur ITB.. dan berita inipun tersebar hampir di dua kecamatan. Iya.. demi cucu mereka yang akan jadi sarjana pertama dalam sejarah.

Semoga..
#ombad #biografi