02 March 2019

KAFIR... CACIAN DAN HINAAN

Term "Kafir", "Musyrik", "Munafik", "Mukmin", dsb memang ketentuan dari Allah SWT, tetapi seiring waktu term "kafir" ini seringkali dipakai untuk Cacian, Hinaan dan Penistaan. Bahkan dalam urusan politik bisa menjadi alat serangan kepada yg beda pilihan, tak jarang kita lihat saling tuduh "munafik", bahkan "kafir" meski sesama Muslim.

Belum lagi ada sekte tertentu di Islam yg selain anggota sektenya adalah "kafir".

Begitupun, term "kafir" --bersamaan dengan "thoghut"-- sering juga dipakai dalam meraih kekuasaan, khususnya ketika memberontak atas nama agama.

Jika jalan dakwah yg diambil adalah "dakwah bil hikmah", maka penggunaan term "kafir" ini tidak akan efektif karena term ini sudah identik dengan cacian, hinaan dan penistaan.

Bahkan Allah SWT pun melarang orang-orang muslim mencaci orang-orang yg menyembah selain Allah, karena cacian tersebut hanya akan membuat mereka mencaci Allah SWT tanpa ilmu.

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. Al-An’am : 108) 

Itu makanya Rasulullah SAW pun sewaktu di Madinah --dalam lingkup kenegaraan-- tidak seperti di periode awal (Mekkah), tetapi sudah memakai term "ahlul kitab", "Bani Israil", dsb, karena mereka bukan "kafir quraisy" yg memusuhinya.

Imam Ja’far Shodiq ra. meriwayatkan sebuah Hadist :

Laa tasubbuu al-naas fataksibuu al-‘adaawata baynahum.

"Janganlah kalian mencaci manusia, yang akan menimbulkan permusuhan di antara mereka.”

Jadi secara ushul, larangan Allah dan Rasulullah SAW di atas bertujuan :

1. Mencegah agar tidak saling mencaci, tidak membuat mereka mencaci balik Allah SWT tanpa ilmu. Dan ini adalah perintah Allah.

2. Mencegah agar tidak terjadi permusuhan antar sesama manusia. Dan perintah dari Rasulullah ini berlaku atas dasar hubungan kemanusiaan, seperti hubungan antar warga negara, hubungan sosial, ekonomi, politis, dst. Dan inipun perintah agama.

Maka disebabkan Rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)

Jadi, Perlunak Hati dan lemah lembutlah dalam berdakwah.


Semoga...
#ombad #tasawuf

01 March 2019

TELUNJUK KAFIR

Pemahaman pada level dasar itu, "kafir" identik dengan "beda agama", selain Muslim disebutlah Kafir, meski yg dianggap "kafir" itu pun mengimani (percaya, believers) kepada Tuhan.

Padahal secara bahasa, kata "Kafir" (tertutup, kufur, cover) itu lawan katanya adalah "Asy-Syaakir" (orang yang bersyukur). Itu makanya ada istilah "kufur nikmat". Artinya ini terkait kualitas Hati, dimana Hatinya tertutup oleh Kebenaran. Sementara itu, jalan menuju Kebenaran banyak sekali, bukan milik satu kelompok atau agama saja.

Perlu diketahui, pada masa sebelum Islam, istilah "kufur" digunakan untuk para petani yg sedang menanam benih di ladang, lalu menutupnya (kufur) dengan tanah. Itu makanya para petani (waktu itu) disebut juga sebagai “kuffar” (bentuk jamak dari kafir).

Seiring waktu, istilah "kafir" mulai bergeser dan dijadikan alat politik, khususnya dilegalisasi dalam meraih Kekuasaan atas nama agama (perang, pembunuhan, dsb). Padahal jelas-jelas dalam Al-Quran, selain istilah "Kafir", ada juga istilah "Musyrik", "Murtad", "Yahudi", "Nasrani", "Sesat", dsb.

Al-Quran sendiri tidak melakukan gebyah uyah bahwa selain Muslim semuanya adalah Kafir. Bahkan sudah merasa Muslim pun belum tentu diakui "muslim" oleh Tuhan, apalagi "mukmin". Itu makanya orang Islam harus memperbaharui keimanannya terus menerus. Silakan temukan dalam shalat dan ibadah-ibadah anda. Jika ibadahnya belum bisa merendahkan hati, ya bisa dianggap belum ibadah.

"... Yang demikian itu disebabkan karena diantara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat para pendeta dan rahib, juga karena mereka sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al-Maaidah: 82)

Dan sangat mungkin jika yg mengaku Muslim ternyata batinnya itu belum Tunduk sepenuhnya kepada Tuhannya, buktinya melakukan perbuatan-perbuatan tercela (korupsi, sombong, syirik khafi, dsb), artinya apa..? Ya belum Muslim secara haqiqi, atau bisa disebut "merasa sudah Muslim" padahal banyak Kufur di dalam dirinya.

"Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl : 125)

Jadi kurangi menunjuk ke luar dengan tujuan men-suci-kan diri sendiri karena itu hawa nafsu sangat rendah yang sangat samar. Dan jika masih seperti ini, artinya masih ada Kekafiran dalam diri.

"Fir'aun sudah tidak ada, Qarun telah berlalu, bangsa 'Ad dan Tsamud telah musnah. Maka tidak lain yg dimaksud oleh ayat-ayat al-Qur'an itu adalah kalian sendiri." ('Umar bin Khatthab ra.)

Dan hasil dari beragama yaitu Akhlaq, salah satunya adalah tidak menyakiti perasaannya dengan panggilan "kafir", 

"‪Dia yang bukan saudaramu dalam Iman adalah saudaramu dalam Kemanusiaan." ('Ali bin Abi Thalib kw.)

Bukankah Rasulullah SAW pun tidak memanggil pamannya, "Hai Kafir..."

**

Ketika seseorang mempelajari dan menggali makna ayat-ayat al-Qur'an itu kadang suka lupa diri sendiri.

Contoh-contoh Keburukan yg tertera didalam al-Qur'an semisal Firaun, Qarun, Abu Lahab, Kafir, Musyrik, dsb bukannya dijadikan "petunjuk" tetapi malah dipakai untuk "menunjuk".

Mudah-mudahan ke depan itu, ketika kita menggali ayat-ayat Allah ini, maknanya bisa jadi petunjuk dan bisa dipakai untuk "membuka" dan "menelanjangi" Keburukan dan Kebodohan diri sendiri.

Dan mulailah berhenti dijadikan alat untuk "menunjuk" keburukan dan kebodohan orang lain.

Seperti halnya yg dikatakan Sayyidina Umar bin Khatthab ra. sewaktu berceramah di depan para Sahabat selepas Rasulullah SAW wafat :

"Fir'aun sudah tidak ada, Qarun telah berlalu, bangsa 'Ad dan Tsamud telah musnah. Maka tidak lain yg dimaksud oleh ayat-ayat al-Qur'an itu adalah kalian sendiri."

Dan Instropeksi itu gerbang menuju Taubat.

Semoga...
#ombad #tasawuf

28 February 2019

BEDA PENDAPAT... TERTAWALAH

Antar teman, bahkan antara Murid dengan Guru itu bisa Beda Pendapat, tetapi gak jadi musuh-musuhan.

Begitupun antara Imam Syafi'i ra. yg merupakan murid dari Imam Malik ra. ada perbedaan pendapat dengan gurunya terkait Rejeki.

Dalam sebuah majlis, Imam Malik menerangkan tentang Rejeki :

"Sesungguhnya Rejeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan Tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan memberikan Rejeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya."

Sementara sang murid, Imam Syafi'i berpendapat lain, bahwa :

"Seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan Rejeki."

Guru dan Murid bersikukuh pada pendapatnya.

Sampai pada suatu hari, Imam Syafi'i ketika sedang di luar pondok melihat serombongan orang tengah memanen anggur, maka Beliau pun membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, Imam Syafii memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa.

Imam Syafi'i girang, bukan karena dapat anggur, tetapi pemberian itu telah menguatkan pendapatnya "jika burung tak terbang dari sangkar, bagaimana ia akan mendapat rejeki", maka jika ia tak membantu memanen, niscaya tidak akan mendapatkan anggur.

Lalu bergegaslah Beliau menjumpai gurunya. Sambil menaruh seluruh anggur yang didapatnya, dia menceritakan "pekerjaan" memanen anggur. Imam Syafi'i sedikit mengeraskan bagian kalimat “seandainya saya tidak keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai di tangan saya.”

Mendengar itu Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Imam Malik berucap pelan,

Sehari ini aku memang tidak ke luar pondok, hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba  engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga bagian dari rejeki yang datang tanpa sebab. Cukup dengan Tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan berikan Rejeki. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah yang mengurus lainnya.”

Sang Guru dan Murid ini pun akhirnya tertawa.

Dan seperti itulah Ulama sekaliber Mujtahid Mutlak dengan kedalaman pemahaman baik secara lahir maupun batin dalam menyikapi perbedaan, bukan dengan cara menyalahkan orang lain dan hanya membenarkan pendapatnya saja, karena masing-masing memahami dalam mengambil dua hukum yang berbeda meski dari Hadits yang sama.

Semoga..
#ombad #tasawuf