22 November 2019

ORANG BERAKAL

Salah satu perintah dalam agama itu Mengolah Akal, itu makanya disebutkan tiada agama bagi orang yang tidak berakal. Dan salah satu ciri orang yang tidak mengolah akalnya itu adalah menelan bulat-bulat sesuatu yang masih mentah dari masa lalu. 
 
Tanda dari semua ini adalah terjadinya kemunduran di berbagai bidang, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu orang-orang yang "kalah" ini melakukan pembelaan diri dengan ungkapan "kehidupan akhirat lebih penting" tanpa paham maksudnya. Padahal sudah jelas disebutkan bahwa manusia yang paling bagus kualitasnya di hadapan Tuhan itu adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesama, lingkungan sekitar dan lebih luas lagi, alam semesta ini. 

Hal ini merupakan konsekuensi dari "manusia sebagai khalifah alam", sebagai "saluran rahmat" bagi alam ini, dan bukan hanya alam akhirat saja. 
 
**
 
Menurut Buya HAMKA, dalam bukunya "Falsafah Hidup", orang berakal itu memiliki tanda-tanda nyata dalam sikap dan perilakunya sehari-hari, ada 9 kriteria yaitu : 

Pertama, orang berakal itu luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau yang menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah didapat padahal rapuh. 
 
Kedua, orang berakal selalu menaksir harga dirinya, yakni dengan cara menilik hari-hari yang telah dilalui, adakah dipergunakan kepada perbuatan-perbuatan yang berguna, dan hari yang masih tinggal ke manakah akan dimanfaatkan. Jadi, tidak ada waktu yang digunakan untuk hal-hal yang tidak berfaedah, apalagi sampai menguliti kesalahan atau aib orang lain.

Ketiga, orang berakal senantiasa berbantah dengan dirinya. Sebelum melakukan suatu tindakan, ada timbangan yang digunakan, apakah yang dilakukannya baik atau jahat dan berbahaya. Kalau baik, maka diteruskan, jika berbahaya segera dihentikan.

Keempat, orang berakal selalu mengingat kekurangannya. Kalau perlu dituliskannya di dalam suatu buku peringatan sehari-hari. Baik kekurangan pada agama, atau pada akhlak dan kesopanan. Peringatan diulang-ulangnya dan buku itu kerapkali dilihatnya untuk direnungi dan diikhtiarkan mengasur-angsur mengubah segala kekurangan itu. 

Kelima, orang berakal tidak berdukacita lantaran ada cita-citanya di dunia yang tidak sampai atau nikmat yang meninggalkannya. Diterimanya apa yang terjadi atas dirinya dengan tidak merasa kecewa dan tidak putus-putusnya berusaha. Jika rugi tidaklah cemas, dan jika berlaba tidaklah bangga. Karena cemas merendahkan hikmah dan bangga mengihilangkan timbangan. 

Keenam, orang berakal enggan menjauhi orang yang berakal pula. Artinya, temannya adalah orang yang berhati-hati dalam hidupnya, sehingga terjaga komitmennya dalam memegang risalah kebenaran.

Ketujuh, orang yang berakal tidak memandang remeh suatu kesalahan. Walaupun bagaimana kecilnya di mata orang lain. Dia tidak mau memandang kecil suatu kesalahan. Karena bila kita memandang kecil suatu kesalahan, yang kedua, ketiga, dan seterusnya, kita tidak merasa bahwa kesalahan itu besar, atau tak dapat membedakan lagi mana yang kecil dan mana yang besar. 

Kedelapan, orang yang berakal tidak bersedih hati.Orang yang berakal tidak berduka hati. Karena kedukaan itu tiada ada faedahnya. Banyak duka mengaburkan akal. Tidak dia bersedih, karena kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang telah terlanjur. Dan, banyak sedih mengurangi akal. 

Kesembilan, orang berakal hidup bukan untuk dirinya semata, tetapi untuk manusia dan seluruh kehidupan. Orang berakal hidup untuk masyarakatnya, bukan buat dirinya sendiri. 

Dan selanjutnya, menurut Buya Hamka, orang berakal itu hanya memiliki kerinduan kuat pada tiga perkara. Pertama, menyediakan bekal untuk hari kemudian. Kedua, mencari kelezatan buat jiwa. Dan, ketiga, menyelidiki arti hidup.
 
Semoga..
#ombad #tasawuf 
 
Ket. Gambar..
Puzzle belum lengkap, jadi masih terkotak-kotak.

19 November 2019

TASAWUF DALAM SINKRONISASI GELOMBANG OTAK

Gelombang otak seseorang dapat melakukan sinkronisasi kepada orang lain. Jika bisa sinkron maka istilah umumnya disebut sebagai "satu pemikiran" atau "satu frekuensi berpikir". 
 
Sinkronisasi antar gelombang otak ini bisa terjadi karena medan elektromagnetik otak itu selalu mengirimkan informasi ke sekitarnya secara terus-menerus. Begitupun dengan medan elektromagnetik pada jantung. Jika seorang individu menghasilkan irama jantung koheren, maka kemungkinan terjadinya sinkronisasi antar gelombang pun akan terjadi. 

Kondisi ini mengisyaratkan, pada suatu kondisi psikologis tertentu (baca: koheren), seseorang akan menjadi lebih sadar serta bisa "menangkap" sebaran "kode" informasi yang dikodekan di medan elektromagnetik orang-orang di sekitarnya. 

Dalam budaya Sunda ada istilah "Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh", dimana Silih Asah itu saling menajamkan pikiran, saling mengingatkan. Silih Asih itu saling mengasihi. Silih Asuh itu saling mengasuh, saling membimbing. Tentunya akan sulit seperti ini jika otak (baca: pikiran) serta jantung (baca: hati, rasa) tidak bisa menangkap sebaran "kode" dari sekitar. Dan sikap Empati pun menjadi salah satu tandanya. 

Dalam tahapan selanjutnya, ayat-ayat Kauniyah (ayat-ayat Tuhan yang tersebar di alam semesta) pun akan lebih mudah untuk bisa diakses. Dan Pemahaman yang terintegrasi serta tidak terkotak-kotak pun menjadi salah satu tandanya. Sebutlah, pemahaman yang multidimensi, yang mengkolaborasikan IQ, EQ, SQ, serta AQ. 

Dari sini kita bisa paham, meski awalnya agama-agama itu dasar informasinya berlatar belakang Mistik atau Ghaib, melalui fenomena "rasa", sedikit demi sedikit tirai keghaiban pun akan dibukakan, kecuali bagi yang keukeuh membatasi diri, keukeuh dengan otak 2D nya, keukeuh dengan pikiran harfiahnya, ya beragama pun cukup dengan "katanya". 

Ajaran agama itu bukan sekedar "katanya" lalu tutup mata atau pakai kacamata kuda, kecuali kalo mau jadi kuda, ya tidak perlu mengolah akal, cukup terima saja jadi kuda.. jadi nanti lebih mudah dimanfaatkan oleh Imam atau Amir-nya.. �😀 

Meski dalam diri manusia ada aspek "basyariyah" seperti kuda, tentu akan lebih bagus jika aspek "insaniyah" nya semakin diperbesar, dengan cara memadukan rasio dan rasa, sains dan iman, logika dan mistik, realita dan ghaib, syariat dan hakikat, ilmu dan elmu, sufisme dan matematika, bahkan tasawuf dan fisika kuantum. Jadi bukan sekedar fenomena iman atau spiritual yang selalu berseberangan dengan sains atau ilmu pengetahuan. 
 
Jadi "jahiliyah" itu bukan urusan masa lalu di abad 7 M saja. "Jahiliyah" itu bisa menulari siapapun karena ini sangat berkaitan dengan "sadar", yaitu: sadar akan dirinya, sadar dalam hubungan antar sesama, adab/etika, hukum, budaya dan lingkungan sekitarnya.
 
Semoga..
#ombad #tasawuf #dalam