15 May 2020

LAILATUL QADAR, SEBUAH PROSES & PUNCAK PENGALAMAN SPIRITUAL

Semua Muslim pasti ingin dan merindukan Lailatur Qadar, yg nilainya sama dengan "1000 bulan", meski kata "seribu" (alfi) dalam bahasa Arab (dulu) itu maknanya bukan sekedar jumlah 1000, tapi juga "hitungan tertinggi", bisa juta, milyar bahkan trilyun. Sebutlah Paling Puncak.

Jika mengganggap Lailatul Qadar sekedar "hadiah yang jatuh dari langit" maka nanti banyak orang yang lebih mementingkan hasil (orientasi hasil), hanya akan rajin ibadah saja di malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan melempem lagi di hari-hari biasa.

Dalam beragama, yg harus dipahami oleh seorang hamba adalah istiqamah dalam beribadah. Awalnya Ritual lalu selanjutnya menyentuh perbaikan jiwa dan spiritual. Awalnya terasa berat memenuhi Kewajiban lalu akhirnya terasa ringan karena Kebutuhan. Jadi ada suatu "proses" perbaikan ke dalam diri maupun ke lingkungan sekitar, selaras dengan kata "sholeh" yg artinya "memperbaiki". Hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini.

Jika dianalogikan, Lailatul Qadar itu seperti putaran terakhir dalam pertandingan (misal) lari. Pertandingan yg dimulai sejak awal tahun (bulan Muharram), kemudian makin menguatkan niat pada Nisfu Sya'ban, semakin semangat dan fokus di Ramadhan, sampai memasuki putaran terakhir di akhir Ramadhan. Sampai akhirnya sukses memasuki garis finish menjadi juara, diberi selamat oleh para malaikat serta ruh-ruh orang sholeh, dan bisa naik podium diberi medali "kelahiran kembali", bertemu dengan "fitrah diri".

Jadi Lailatul Qadar itu adalah "suatu rangkaian dalam proses transformasi kesadaran" dan bukan sekedar "hadiah yg jatuh dari langit" ataupun "fenomena alam" yg tinggal ditunggu pada malam tertentu, sementara malam-malam lainnya tidak melakukan proses apa-apa. 

Jika "maqam" Lailatul Qadar itu berada di tingkat 100, maka akan sulit dicapai jika "modal awal" nya hanya di tingkat 20, karena Lailatul Qadar itu seperti "finalisasi" suatu rangkaian proses tahunan atau lebih. Ada rangkaian Sunatullahnya dan bukan merupakan sesuatu yg instan, karena Allah itu Maha Adil.

Allah Maha Adil dan Maha Mematuhi aturan yang dibuat-Nya (sunatullah). Hamba-Nya yang berproses akan lebih dicintai daripada yang tidak. Proses dari -2 ke 6 itu lebih baik daripada 6 ke 8, itu makanya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan berinstrospeksi, serendah apapun awalnya.

Sekali lagi, Lailatul Qadar itu merupakan bentuk dari keseluruhan proses Qurbah (pendekatan kepada Allah), dan bukan hanya sekedar hasil yang mudah didapat dan diraih dalam waktu semalam.

Dan itulah kenapa Rasulullah SAW tak pernah membocorkan kapan Lailatul Qadar terjadi. Rasul hanya memberikan prediksi dan tanda-tanda kedatangannya. 
 
**

Rasulullah SAW bersabda,

Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yg berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yg meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan. Dan siapa yg memohon ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni'.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Untuk memahami Hadist di atas, harus paham juga bahwa Allah itu tidak terpengaruh dimensi Ruang dan Waktu.

Jadi kata "turun" untuk Allah itu sifat mustahil bagi Allah, karena Allah itu Qiyamuhu bi Nafsihi (berdiri sendiri) tanpa ketergantungan dimensi Ruang dan Waktu baik arah atas, bawah, kiri, kanan, turun ataupun naik.

Secara proses, Hadist-hadist seperti itu harus dipahami sebagai bentuk perintah bagi kita agar kita berproses untuk "naik", bukan naik secara dimensi Ruang, tetapi "menaikkan kesadaran", menaikkan kualitas diri, sehingga kualitas kesadarannya "lebih mendekati" Allah, dan jadi lebih mudah berpeluang untuk mencapainya.

Atau dengan bahasa lain, kesadaran yg awalnya berada di alam Nasut/jasmani, akan berproses menuju Malakut, terus ke Jabarut, sampai akhirnya ke Lahut.

Jadi fokusnya bukan ke "Allah turun ke langit dunia", tetapi bagaimana kita bisa "menyongsong-Nya dari langit dunia" dengan cara menaikkan level "langit" diri. Itu makanya kapan terjadinya "lailatul qadar" pada seseorang merupakan suatu rahasia. Bukan kayak tanggal merah di kalender.. 😀

Berangkat dari pemahaman seperti ini, nanti kita dapat memahami (dan mudah-mudahan dapat mengalami), bahwa yg namanya Lailatur Qadar itu adalah "suatu rangkaian proses transformasi kesadaran" dan bukan sekedar "hadiah yg jatuh dari langit" ataupun "fenomena alam" yg tinggal ditunggu pada malam tertentu, sementara malam-malam lainnya tidak melakukan proses apa-apa. 

Jadi sesuatu yg lucu, jika ada yg koar-koar menjual acara "mencapai Lailatul Qadar" seharga berapa rupiah dalam sekali proses.. suatu pembodohan dan disantapnya pun oleh orang-orang bodoh. 

Dan orang-orang bodoh ini akhirnya berilusi dengan kemerasaan "maqam" kesadarannya. Merasa sedang di kesadaran tinggi, padahal sedang darah tinggi.. Merasa sedang melebur dan Fana', padahal sedang melamun dan terpana. 

Ya memang lucu dan menggelikan, soalnya alam di bawah Malakut pun belum selesai dilaluinya, lalu dengan bangganya merasa mendapatkan Lailatul Qadar dalam semalam. Cuma yg aneh, kenapa Jabarutnya belum kena/terakses, padahal kondisi "Lailatul Qadar" ada di Jabarut.

Jadi analoginya, jika "maqam" Lailatul Qadar ada di tingkat 100, ya sesuatu yg sulit dicapai jika "modal awal" nya hanya di tingkat 20, karena Lailatul Qadar itu seperti "finalisasi" rangkaian proses evolusi kesadaran per tahun atau lebih. Ada rangkaian Sunatullahnya dan bukan merupakan sesuatu yg instan, karena Allah itu Maha Adil. 
  
Sekali lagi, Lailatul Qadar itu merupakan bentuk dari keseluruhan proses Qurbah (Dekat kepada Allah), dan bukan hanya sekedar hasil yg mudah didapat dan diraih dalam semalam. Jadi bisa disebut bahwa Lailatul Qadar itu merupakan puncak pengalaman Spiritual seorang hamba di hadapan Tuhannya. 
 
Semoga.... 
#ombad #tasawuf #ramadhan

12 May 2020

TASAWUF DALAM SEMARAK PUASA

Begitu dalam, saat NH. Dini dalam buku Sebuah Lorong di Kotaku menulis, "Aku diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena keinginan naik surga. Kakek mengajarku buat menahan keinginan, untuk mengetahui sampai dimana aku dapat mengatur kekuatan." 
 
Tulisan itu seakan membuka kenangan akan lantunan Hikam yang kembali menusuk hati, "beribadah karena harapkan sesuatu atau agar tolak datangnya siksa, maka ia belum menunaikan hak kewajibannya terhadap sifat-sifat Allah." 
 
Seakan juga wajah cantiknya Adawiyah kembali membisikkan kata cinta, "Semuanya menyembah-Mu karena takut neraka. Mereka menganggap keselamatan darinya sebagai bagian untung melimpah. Atau mereka menempati surga, lalu  mendapatkan istana dan meminum air Salsabila. Bagiku tidak ada bagian surga dan neraka. Aku tidak menginginkan atas cintaku imbalan pengganti."

Sedangkan di depan mata, janji-janji surga dilontarkan demikian gencar lewat panggung-panggung pertunjukan yang seringkali atas-namakan Tuhan dan disertai ancaman. 
 
Sementara di ujung sana, tetap saja, banyak yang berpuasa penuh dendam, nafsunya begitu kelaparan mirip setan, dan saat berbuka begitu serakahnya pada makanan.

Bahkan di pojok lain, keserakahan tetap dipamerkan para setan yang katanya diikat, tapi tetap dalam kobaran kemarahan dan kebencian makin kuat, malah kesadaran diri pun tergilas kemunafikan yang pekat. 

Ah, parodi para budak dogma, yang terformalisasi janji surga, dalam hapalan ayat-ayat saja, terombang-ambing paradok otak dan jiwa.. serta hasilnya tetap lapar dahaga. 

Dan akupun tetap dzalim, yang masih sulit membiasakan istighfar, apalagi jika harus meng-istighfar-kan ucapan istighfarnya, --Istighfaaruna yahtaaju ilaa istighfaarin-- dalam batin puasa. 
 
Semoga..
#ombad #tasawuf #ramadhan