Begitu dalam, saat NH. Dini dalam buku Sebuah Lorong di Kotaku menulis, "Aku diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena keinginan naik surga. Kakek mengajarku buat menahan keinginan, untuk mengetahui sampai dimana aku dapat mengatur kekuatan."
Tulisan itu seakan membuka kenangan akan lantunan Hikam yang kembali menusuk hati, "beribadah karena harapkan sesuatu atau agar tolak datangnya siksa, maka ia belum menunaikan hak kewajibannya terhadap sifat-sifat Allah."
Seakan juga wajah cantiknya Adawiyah kembali membisikkan kata cinta, "Semuanya menyembah-Mu karena takut neraka. Mereka menganggap keselamatan darinya sebagai bagian untung melimpah. Atau mereka menempati surga, lalu mendapatkan istana dan meminum air Salsabila. Bagiku tidak ada bagian surga dan neraka. Aku tidak menginginkan atas cintaku imbalan pengganti."
Sedangkan di depan mata, janji-janji surga dilontarkan demikian gencar lewat panggung-panggung pertunjukan yang seringkali atas-namakan Tuhan dan disertai ancaman.
Sementara di ujung sana, tetap saja, banyak yang berpuasa penuh dendam, nafsunya begitu kelaparan mirip setan, dan saat berbuka begitu serakahnya pada makanan.
Bahkan di pojok lain, keserakahan tetap dipamerkan para setan yang katanya diikat, tapi tetap dalam kobaran kemarahan dan kebencian makin kuat, malah kesadaran diri pun tergilas kemunafikan yang pekat.
Ah, parodi para budak dogma, yang terformalisasi janji surga, dalam hapalan ayat-ayat saja, terombang-ambing paradok otak dan jiwa.. serta hasilnya tetap lapar dahaga.
Dan akupun tetap dzalim, yang masih sulit membiasakan istighfar, apalagi jika harus meng-istighfar-kan ucapan istighfarnya, --Istighfaaruna yahtaaju ilaa istighfaarin-- dalam batin puasa.
Semoga..
#ombad #tasawuf #ramadhan