21 August 2018

OPOSISI PERTAMA DI NKRI

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, dalam sidang pelantikan KNIP (Komite nasional Indonesia Pusat) tanggal 29 Agustus 1945, Bung Karno selaku Presiden telah menggariskan bahwa jalan yg ditempuh untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mencari pengakuan internasional bagi Republik Indonesia, yaitu dengan jalan DIPLOMASI.

Dan Kabinet Sjahrir I (14 Nov 1945) pun  menjalankan Kebijakan ini dengan melakukan beberapa pertemuan dengan pihak Belanda dan Sekutu untuk berunding.

Tetapi langkah yg diambil Pemerintah awal kemerdekaan ini dianggap terlalu lembek oleh Kaum Revolusioner dan dianggap tidak serius dalam upaya menegakkan kedaulatan RI.

Akhirnya, karena gak setuju, maka Tan Malaka dan Soedirman pun menggagas pembentukan kelompok oposisi.

Pada 3-5 Januari 1946, di Gedung Serba Guna Purwokerto, diadakan kongres pertama para kelompok oposisi. Kongres ini dihadiri 132 organisasi sipil, partai, laskar, dan ketentaraan, diantaranya :

Partai Komunis Indonesia, Serikat Buruh Indonesia, Partai Masyumi, Partai Buruh Indonesia, Partai Revolusioner Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia, Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Angkatan Muda Republik Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dsb.

Tampil sebagai pembicara utama adalah Tan Malaka dan Soedirman. Tan Malaka mengusulkan dibentuknya Volksfront (Front Rakyat).

Lebih baik diatom sama sekali daripada tak merdeka 100%.” (Soedirman, 6 Jan 1946).

Pada kongres kedua yg berlangsung 15-16 Januari 1946 di bekas gedung Balai Agung Solo, makin bertambah yg ikut kongres, sekitar 500 orang yg mewakili 141 organisasi. Dan kongres ini pun sukses, dimana Volksfront akhirnya dibentuk secara resmi dengan nama PERSATOEAN PERDJOEANGAN.

Sebagai oposisi yg tidak setuju dengan jalan lembek (diplomasi), Persatoean Perdjoeangan pun mengirim beberapa utusannya untuk menekan Pemerintah agar menyetujui "Toedjoeh Boetir Minimoem Program Persatoean Perdjoeangan".

Tapi usulan ini ditolak pemerintah karena dianggap terlalu radikal. Reaksi beberapa tokoh Persatoean Perdjoeangan atas penolakan tersebut juga tidak digubris pemerintah. 

Akhirnya, pada 17 Februari 1946, di usia setengah tahun Republik Indonesia, Persatoean Perdjoeangan melakukan aksi massa dengan gelombang demonstrasi di mana-mana.

Politik makin memanas, perlawanan Persatoean Perdjoeangan semakin sengit, dan karena merongrong Pemerintah terus, maka tokoh-tokoh Persatoean Perdjoeangan pun ditangkapi. Salah satu alasan Pemerintah (Kabinet Sjahrir I) adalah karena organisasi oposisi ini melarang tiap anggotanya untuk duduk dalam kabinet koalisi Sjahrir. Hal ini dianggap oleh pemerintah sebagai tindakan yg merusak (saboteren).

Sampai akhirnya pada tanggal 4 Juni 1946 di Yogyakarta, dalam sebuah rapat alot yg dipimpin S. Mangoensarkoro, sebagian besar anggota menginginkan agar Persatoean Perdjoeangan dibubarkan.

Jadi meski berumur pendek, Persatoean Perdjoeangan ini merupakan oposisi yg pertama di Indonesia.


Semoga..
#ombad #sejarah

Ket. Foto..
Jenderal Soedirman di sebuah acara yg diorganisir kelompok komunis, 1946.
Jenderal Soedirman (panglima besar TNI; kiri), Musso (pimpinan PKI; kanan).
Sumber : Het Nationaal Archief

20 August 2018

WASHILAH ATAU GHAYAH ?

Suatu hari para Kyai NU kumpul di sebuah pondok pesantren. Saat itu Gus Mus ingin menerangkan tentang awal mula kesalahan beragama.

Beliau melemparkan pertanyaan, "PPP, PDI dan Golkar itu Washilah atau Ghayah..?"

Para Kyai pun serempak menjawab dengan mantap, "Washilah (Jalan)..!"

Ada yg saking mantapnya, jadi malah setengah berteriak.

Gus Mus pun memberikan pujian, "Nilai 100 untuk bapak-bapak Kyai."

"NU, Muhammadiyah, dan semacamnya itu Washilah atau Ghayah ?" Gus Mus bertanya lagi.

Para Kyai kemudian menjawab pelan agak ragu-ragu, "Washilah...”

Beliau hanya tersenyum mendengar nada jawaban para Kyai yg mulai terasa berubah.

Gus Mus pun bertanya kembali, "Islam, Katolik, Hindu, dan semacamnya itu Washilah atau Ghayah (Tujuan)..?"

Seketika itu pula ruangan menjadi hening. Tidak ada Kyai yg menjawab. Gus Mus sampai mengulangi pertanyaannya tiga kali, para Kyai tersebut tetap hanya diam.

Ghayah itu artinya tujuan akhir. Washilah itu artinya sarana menuju.

Kemudian ada Kyai yg balik bertanya, “Kalau pendapat Gus Mus sendiri bagaimana..?”

Dengan mantap beliau menjawab, "Agama Islam adalah Washilah."

Para Kyai kemudian ribut sendiri, “Lho, bagaimana bisa agama Islam adalah Washilah..?!”

Sekali lagi, dengan mantap, Gus Mus menjawab, “Karena Ghayah-nya (tujuannya) adalah Allah."

Seketika itu pula, semua Kyai di ruangan tersebut kembali diam semua.

Gus Mus lantas membuat pengandaian (analogi). Kalau Anda ingin ke Jakarta memakai mobil, bus, atau kereta api, tidak akan sampai. Karena Jakarta sedang banjir, maka melalui jalan darat tidak mungkin bisa sampai. Hanya bisa sampai ke Jakarta melalui pesawat terbang. Meski satu-satunya sarana transportasi yg bisa menjangkau Jakarta, pesawat terbang ini tetaplah hanya Washilah (sarana menuju).

Maka dari itu, di berbagai kesempatan, Gus Mus menasehati Nahdliyyin untuk selalu menghormati umat beragama lain. Bagaimanapun juga, umat beragama lain pada dasarnya sama seperti umat Muslim, yaitu sedang berusaha menuju-Nya. Semua pilihan orang lain harus dihargai, seperti diri kita ingin dihargai memilih Washilah agama Islam.

Jadi, awal mula kesalahan beragama adalah menganggap agama Islam seperti partai politik. Ditambah salah menetapkan apa yg menjadi Washilah dan apa yang menjadi Ghayah dalam agama Islam.

Akhirnya, bisa tumbuh sikap berlebih-lebihan dalam beragama Islam, dan pada akhirnya menjadi sibuk “kampanye” atribut agama Islam yg disertai kebencian terhadap umat beragama lain. Sehingga justru lupa kepada tujuan pokok agama Islam. Mirip perilaku para anggota partai politik masa kini.


Semoga..
#ombad #tasawuf