12 March 2018

TENTANG TAKWIL

Allah yang menurunkan Al-Quran, mengetahui seluruh aspek maknanya. Dia juga mengetahui bahwa hamba-hamba-Nya berbeda-beda taraf kemampuan dalam memahami firman-Nya dan dapat menangkap sebatas yang mereka mampu. Maka dari itu, jika seseorang menangkap makna dari suatu ayat – dapat dikatakan, itulah makna yang dimaksud Allah dalam ayat tersebut bagi orang itu.

Banyak ayat Al-Quran yang menisbahkan bagian-bagian tertentu kepada Allah – seperti tangan, mata, jemari, bersemayam, berbicara kepada Musa, dsb. Jika kita memahami ayat ini seadanya (harfiyyah), kita akan terperangkap pada tasybîh (tamsil, penyerupaan) dan tajsîm (penjasmanian). Oleh sebab itu, banyak orang yang keluar dari pendekatan ini dan memilih pendekatan allegoris (kiasan, ibarat).
Sebaiknya tidak hanya pemahaman literal murni saja, kadang membutuhkan pemaknaan lewat Takwil (ta'wil).

Tentunya, penta'wilannya pun TIDAK seperti hal-hal di bawah ini :

1. Ta'wil yang membelokkan makna ayat paradoksial ke arah yang sehaluan dengan prinsip-prinsip logika.

2. Ta'wil atau penafsiran menurut hukum akal atau pertimbangan rasio semata.

3. Ta'wil menurut pendapat pribadi seseorang yang tidak cukup ilmunya.

4. Ta'wil yang tidak didukung oleh kisaran makna lafadzh.

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

"…padahal tidak ada yang mengetahui ta'wîl maknanya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya;..." (QS. Ali Imran:7)

Terkait Takwil ni, ada Hadist yg menerangkannya,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ ضَمَّنِي رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ إِلَيْهِ وَقَالَ "اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ وَتَأْوِيلَ الْكِتَابِ" .

Dari Ibnu Abbas ra, "Rasulullah SAW memelukku dan berkata, 'Ya Allah, alimkan dia Al-Hikmah dan Ta'wil al-Kitab'." (HR. Ibn Majah)

Hadist di atas diucapkan Rasulullah SAW sambil memeluk ibn Abbas ra.

Dan beberapa tahun sesudahnya, ada suatu bukti tentang Ibn Abbas yg bisa mentakwil, dimana Ibn Abbas memberikan Takwil "yg jauh sekali" dari makna "Idza ja'a nashrullahi wal fath". Ibn Abbas tidak menghubungkannya dengan apa yg akan terjadi atas futuh Mekkah, melainkan ia memberi takwil :

Idza ja'a, "Tatkala datang maut menjemput Nabi," dalam arti, Nabi akan segera wafat setelah orang berbondong-bondong "yadkhuluna fi dinillah."

Inilah kenapa Takwil akhirnya jadi "sedikit" kontroversi, dalam arti, banyak juga yg "menentang" nya. Tidak sembarangan "dibuka" untuk kalangan awam.

Jadi, dari riwayat di atas, bisa diambil kesimpulan, bahwa Takwil itu bisa memberi visi (makna, ilmu, penglihatan) yg lain/berbeda, dan kebenarannya pun sama-sama haqq.

Artinya, "penafsiran" Al-Qur'an itu tidak selalu tekstual, dan bisa lewat pintu pemahaman Takwil lewat Qalbu dan Hikmah.

Dan ingat, penafsiran yg dimaksud di atas bukan dalam konteks Tafsir yg sudah baku dan disepakati para Ulama, tetapi lebih ke Takwil yaa... :D

Sekedar contoh :

[2:1] Alif Lam Mim.
[2:1] Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
[2:3] (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Kalau boleh sy takwilkan ayat di atas, maka takwil sy begini : 

[2:1] Hamba-Nya yang INSAN KAMIL (misalnya, para Nabi dan para Aulia).

[2:1] Karena ketaqwaan hamba-Nya yang Insan Kamil ini, Allah menganugerahkan ilmu-Nya (al-Quran) baik ilmu lahir maupun batin. Anugrah ini dihidayahkan Allah sampai hamba-Nya yang Insan Kamil ini Haqqul Yaqin, yang prosesnya bisa secara lahiriah dan batiniah.

[2:3] Allah juga membukakan hal-hal yang ghaib (batin), sampai Insan Kamil ini haqqul yaqin, karena bisa "melihat" hal-hal yg ghaib (bashirah) dengan Qalbu Sirri-nya. Dalam hidupnya, ia selalu bergantung secara total ke Allah (faqir ke Allah), selalu "menghadapkan wajahnya" ke Allah. Dan ia pun selalu berupaya untuk mengajak dan membantu hamba-Nya yang lain agar berusaha wushul ke alam asalnya..

Wallahu a'lam.

Wahai Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu.” (QS. 20:114)

Semoga...
#ombad #tasawuf #takwil