Belajar dzikir itu butuh Mursyid kamil-mukammil, jangan yg abal-abal.. apalagi berbayar.. :D
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
"Wa may yudlil falan tajida lahu Waliyyam Mursyida."
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalam hidupnya) seorang Wali Mursyid --pemimpin yg dapat memberi petunjuk kepadanya--.” (QS. al-Kahfi : 17)
Dzikir bukan sekedar ucapan di mulut saja, atau bacaan-bacaan untuk tujuan duniawi, tetapi esensi dzikir itu harus bisa menembus hati sampai bisa mencapai kualitas tauhid "Ahadiyah". Esensi dari "Laa Haula wa laa quwwata illa billaah" dan "Inna lillaahi wa inna ilaihi raji'uun".
Dzikir pun harus bisa membersihkan hijab-hijab hati yg berupa keinginan dan segala sesuatu yg bersumber dari nafsu-nafsu rendah (Amarah, Lawamah dan Mulhimah), sampai akhirnya kualitas qalbunya bisa mencapai Fuad, Lubb, bahkan Sirri, atau dengan kata lain, bisa menembus alam ruh serta membersihkan lapisan-lapisan ruh (Qiswah Unsuriyah/Jismani, Sairani Rawani dan Sulthani) sampai akhirnya bisa ber-Musyahadah.
Ada kisah terkait pentingnya proses purifikasi hijab-hijab hati (penyakit-penyakit hati) yg berupa obrolan antara sang Hujjatul Islam (Imam Al-Ghazali ra.) kepada salah seorang muridnya, sebagai berikut:
Seorang murid bertanya kepada Imam Ghazali yg menjadi gurunya, “Syeikh, bukankah dzikir bisa membuat seorang beriman lebih dekat dengan Allah Ta’ala dan syaitan akan berlari jauh darinya..?”
“Benar.." jawab Imam Ghazali.
“Namun kenapa ada orang yang semakin rajin berdzikir justeru malah semakin dekat dengan syaitan..?” lanjut sang murid.
Imam Ghazali pun bertutur, “Bagaimana pendapatmu, jika ada orang yg mengusir anjing, namun dia masih menyimpan tulang dan berbagai makanan kesukaan anjing di sekitarnya..?”
“Tentu, anjing itu akan kembali datang setelah diusir.” jawab sang murid.
Imam Ghazali melanjutkan,
"Demikian juga dengan orang-orang yg rajin berdzikir tapi masih menyimpan berbagai penyakit hati dalam dirinya. Syaitan akan terus datang dan mendekat bahkan bersahabat dengannya.
Penyakit-penyakit hati itu seperti kesombongan, iri hati, dengki, syirik, bersikap kasar, riya, merasa sholeh, merasa suci, ghibah, marah dan berbagai penyakit hati lainnya. Ketika penyakit-penyakit itu menghinggapi diri seorang hamba, maka syaitan terlaknat akan senantiasa datang, mengakrabkan diri, kemudian menjadi sahabat karibnya."
Kisah di atas mengandung Hikmah bahwa berdzikir itu harus "lurus" kepada Allah dan bukan diarahkan kepada tujuan-tujuan duniawi, sampai bisa "tidak apapun dalam hati kecuali Allah SWT yg jadi tujuan". Puncak Tauhid.
Dan proses dalam menapaki "jalan yg lurus" ini rentan terhadap godaan, bisa berupa nafsu kepentingan, fenomena maupun bisikannya (al-khatir). Itu makanya dalam thariqah dibutuhkan seorang Mursyid yg kamil-mukammil (yg sudah bermusyahadah dengan ruh qudsinya) sebagai "penunjuk" jalan para salik. Sebutlah, agar "bibit dzikir yg disemai dalam hati ini tidak terdistorsi nafsu" karena langsung dari kondisi ruh qudsi.
Ilahi anta maqsuudi wa ridhooka mathluubi a'tini mahabbataka wa ma'rifataka.
Semoga..
#ombad #tasawuf