11 July 2018

GAJAH DALAM GELAP

Pikiran setiap manusia itu berbeda-beda.. sebutlah itu, frekuensi berpikir, pola pandang, dsb.

Dalam konteks keyakinan, hampir semua merasa benar dengan pendapat/keyakinan dirinya. Ketika "Kebenaran subyektif" ini diikutin, lalu ditunjanglah dengan dalil sebagai 'pembenaran' nya. Padahal mungkin saja 'kebenaran' menurut dirinya ini masih dalam ruang 'pemahaman parsial' karena masih berproses untuk menemukan yg Hakiki.

Itu kenapa fokus dalam tasawuf lebih ke 'membersihkan diri terus-menerus'.. biar sifat-sifat yg negatif (dan tercerminkan lewat perbuatan buruk, yg katanya sesuai dalil) bisa dikikis. Tentu butuh pemahaman, open heart (lapang dada), juga open mind (keterbukaan pikiran), serta berbaik-sangka.

Dalam meyakini 'kebenaran' (dirinya, subyektif), manusia ada 2 tipe:

- Senang mempertunjukkan kesalahan orang lain. Jadi seperti "itu lhoo yg salah", secara tersirat bisa berarti "sy yg benar". Cerminan dari "berburuk-sangka".

- Menjadi alat untuk makin mawas diri, mengolah qalbu terus-menerus, instropeksi. Menyadari bahwa dirinya pernah salah seperti itu.
Cerminan dari "berbaik-sangka".

Ada orang-orang yg diberi hal tertentu (baca: dibukakan) Allah, agar bisa mengambil pelajaran untuk dirinya, bisa berintrospeksi, sewaktu melihat kondisi seperti point yg pertama, sampai akhirnya bisa menyimpulkan, dan makin ber-instropeksi, plus diingatkan bahwa akan seperti itulah cerminannya, selaras dengan kondisi qalbunya.

Jadi ketika melihat yg diluar dirinya selalu jelek atau busuk terus, bisa dimaknai bahwa kondisi qalbu dirinya sendiri sedang jelek/busuk.

Seperti halnya, memakai kacamata merah, akhirnya yg terlihatpun jadi serba merah. Dan inipun jadi rahasia masing-masing diri, karena semua hal yg dilakukan itu sangat tergantung niat dirinya.

Seperti juga, kisah Nabi Musa as. sewaktu diingatkan Khidir, agar selalu berbaik-sangka.


Semoga...
#ombad #tasawuf