Sewaktu berusia 20 tahunan, sekitar thn 1959, Gusdur diminta membantu pamannya, KH. Abdul Fattah Hasyim, mengurus PP. Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, sebagai Kepala Keamanan. Dan tugasnya cukup "sederhana", yaitu mengawasi dan menghukum santri yg melanggar peraturan, bahkan kalau perlu dihukum langsung. Hukumannya bisa bermacam-macam, mulai dari digunduli, disuruh baca Alquran di halaman pesantren, kuras kamar mandi, sampai dengan level paling nakal, diusir dari Pondok.
Untunglah.. ada satu santri yg luar biasa nakal sampai Gusdur pun merasa jengkel dan gregetan puol sama santri tersebut. Bagaimana tidak jengkel jika kulit bedug di pesantren Tambakberas sering dipotong sedikit demi sedikit sampai membuatnya berlubang-lubang, untuk dibikin lauk makan, dibikin krecek..!
Meski sudah sering dihukum, si santri ini tidak kapok-kapok, tetap nakal. Salah satu bentuk kenakalannya adalah... ia sering masuk ke kompleks pondok putri, mengintip para santri putri..! Dan karena ini termasuk pelanggaran tingkat tinggi, hukumannya bisa dikeluarkan, jadi barang buktinya harus valid, kalau perlu "operasi tangkap tangan".
Karena selalu gagal dalam melakukan “operasi tangkap tangan”, Gusdur akhirnya memilih cara alternatif untuk bisa menangkap santri nakal ini dengan bukti yg cukup kuat. Dalam pikiran Gusdur, jika suka mengintip perempuan, berarti pikiran bocah ini pasti mesum, jadi pasti ada sesuatu dalam lemarinya yg menunjukkan kemesumannya.
Akhirnya, razia lemari-lemari santri putra pun dilakukan Gusdur. Dan betul saja, dalam lemari santri yg dimaksud, ditemukan sebuah kutang, yg setelah diselidiki memang salah satu kutang dari pondok putri..!
Gusdur senang, karena dengan ini si santri akan mendapatkan hukuman tertinggi sesuai dengan hukum yang berlaku di pesantren. Gusdur pun menghadap Kiai Fattah sambil membawa kutang sebagai alat bukti.
Begitu sudah sampai ndalem (kediaman) Kiai Fattah, Gusdur mengeluarkan kutang curian tersebut.
“Itu apa, Dur..? Kenapa kamu bawa kutang kemari..?” tanya Kiai Fattah heran.
"Kiai, ini hasil curian salah satu santri putra. Namanya Fulan bin Fulan. Dia sering ngintip ke pondok putri. Di dalam lemarinya saya temukan bukti ini. Saya sama teman-teman dari keamanan pondok sepakat, agar santri ini bisa segera dikeluarkan.” jawab Gusdur.
“Oh, begitu,” kata Kiai Fattah.
“Santri ini nakal banget, Kiai,” kata Gus Dur kepada pamannya.
“Lho, santri nakal, kok, dilaporkan ke aku..? Mau dikeluarkan lagi.. Kalau lapor ke aku, lapor santri yg sudah baik, sudah pintar, biar aku keluarkan dari pondok. Orang tua santri itu berharap anaknya pulang dari pondok biar jadi makin baik, bukan malah jadi tambah nakal." jawab Kiai Fattah.
"Lha, terus gimana ini Kiai..?” tanya Gusdur heran mendengar jawaban Kiai Fattah.
“Begini saja. Aku hargai musyawarah para pengurus keamanan. Karena kalian sudah sepakat untuk mengeluarkannya, ya sudah aku ya sepakat.” kata Kiai Fattah.
Gusdur tersenyum senang mendengarnya.
“Keluar dari pondok, lalu masuk ke sini saja,” lanjut Kiai Fattah sambil menunjuk kediamannya sendiri.
Gusdur terkejut mendengarnya, “Maksudnya, Kiai..?!”
“Iya, dipindahkan ke sini. Ke ndalem. Rumahku. Kamu aturlah sama teman-temanmu. Pokoknya mulai hari ini santri itu dipindah ke sini.." kata Kiai Fattah menunjuk kediamannya sendiri.
Meski bingung dengan perintah pamannya, akhirnya Gusdur tetap menurut, mengeluarkan si santri dari pondok, tapi malah memasukkannya ke ndalem Kiai Fattah. Bukannya dikeluarkan, malah naik pangkat.. :D
Pada akhirnya, si santri jadi orang pertama yg selalu ditemui Kiai Fattah ketika bangun tidur, berangkat ngaji, sampai dengan shalat tahajud, ya karena kamarnya berdekatan. Sewaktu Kiai Fattah mengajar ngaji pun, si santri disuruh membawakan kitab dan menandai halaman-halamannya. Hal itu tanpa sadar membuat si santri mau tidak mau ikut belajar mengaji tanpa bisa membolos satu kalipun. Karena sering harus menandai bagian yg akan dimulai dan yg diakhiri, ia jadi belajar membaca kitab kuning.
Selain itu, setiap Kiai Fattah akan shalat, santri ini disuruh mempersiapkan tempat shalat. Entah itu shalat wajib ataupun sunah. Dengan pola seperti itu, akhirnya si santri terpaksa mengikuti laku hidup Kiai Fattah selama bertahun-tahun. Pada akhirnya, diawali dengan terpaksa, si santri jadi terbiasa dan benar-benar menjadi santri yg saleh.
Dari pengalaman ini, akhirnya Gusdur menyadari bahwa langkah "sederhana" Kiai Fattah tersebut menunjukkan bahwa ada yg lebih penting daripada sekadar mengikuti nalar hukum, yaitu mengikuti nalar kemanusiaan. Dan ternyata di atas hukum, masih perlu adanya rasa kemanusiaan.
Karena jika tinjauannya sekedar hukum, baik secara syariat, akhlak, maupun aturan pondok pesantren, ngintip ke dalam pondok putri adalah pelanggaran yg tidak bisa ditolerir.
Semoga....
#ombad #tasawuf