MUDIK akan diinginkan oleh semua orang karena fitrah manusia itu mencintai sumbernya atau asal-usulnya. Manusia akan berusaha untuk mengingat perjalanan hidupnya, dan selanjutnya bisa berterima kasih dan mensyukuri segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber "hidup" nya.
Ibu adalah sumber pertama, dimana rahimnya itu jadi tempat tinggal pertama, air ketubannya jadi teman bermain pertama, bahkan darahnya pun jadi teman pertamanya yang mengantar ke alam dunia.
Dan selanjutnya pengisian memori pikiran awal dalam pembentukan pribadi pun dimulai, apakah itu terkait manusia (orang tua, saudara, teman, dsb); terkait sifat (kedekatan, ketergantungan, dsb); terkait lingkungan (tempat tinggal, tempat main, dsb); dan juga terkait ilmu/pengetahuan (sekolah, ngaji, dsb).
Ingatan adalah bagian dari Akal yang "ditanam" dalam Fitrah. Dan "ingatan" inipun yang mendorong para pemudik melakukan perjalanan, sejauh dan seberat apapun.
Begitupun dalam hubungan makhluk dengan Tuhannya, meskipun "ingatan" pertemuan di Awal Penciptaan sewaktu di alam lahut (alam ruh) "ditutup", tetapi fitrahnya akan selalu "mendorong" untuk mendekati dan mengenali Tuhannya. Dalam hal ini agama menjadi salah satu sarananya.
Tuhan menyuruh makhluk-Nya sebagai seorang "salik" untuk "napak tilas" ke Awal Penciptaannya (wushul, kembali). Makhluk-Nya diwajibkan memenuhi janjinya ketika di alam lahut untuk menemui-Nya kembali dalam kondisi terbaiknya yaitu ruh qudsi-nya. "Bukankah Aku ini Tuhanmu..? Mereka menjawab: 'Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi Saksi'." (Alastu bi Rabbikum.. Bala Syahidna - QS. al-A'raf 172).
Perjanjian di Awal Penciptaan ini merupakan kewajiban makhluk-Nya supaya bisa menemui-Nya dan mengenal-Nya kembali selama perjalanan hidupnya di dunia, yang tanpa disadari semakin memperbanyak hijab atau penutupnya.
Itu makanya Imam Syafi'i ra. dalam kitabnya al-Fiqh al-Akbar, Bab Mukaddimah, mengatakan :
"Setiap Mukallaf itu diperintahkan untuk Ma'rifat kepada Allah. Arti Ma'rifat adalah mengetahui apa yang ingin diketahui dalam wujud yang sebenar-benarnya, tanpa ada sesuatu pun diantara sifat-sifat dari sesuatu yang ingin diketahui itu yang tersembunyi baginya. Hanya dengan perkiraan atau taklid saja, pengetahuan dan Ma'rifat seperti itu tak mungkin bisa diperoleh. Sebab, perkiraan berarti menerima kemungkinan adanya dua hal, sedangkan arti taklid adalah menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber pendapat itu, dan yang demikian itu tentu saja tidak bisa disebut dengan mengetahui."
Seperti halnya perjalanan mudik lebaran yang membutuhkan kondisi tubuh sehat, kendaraan prima, rute yang baik dan bekal yang cukup, begitupun perjalanan wushul dalam mengenal-Nya, akan membutuhkan niat/riyadhoh yang kuat, waliyyam muryida yang ridha, "jalan" yang baik/lurus, dan dzikir yang banyak. Keselamatan lahir batin adalah segalanya. Dan seperti itulah Mudik yang hakiki.
Ya, itulah "mudik" yang sesungguhnya, yaitu Wushul (kembali) ke sumber (asal), "mudik" yg sampai ke puncaknya, yaitu Puncak Tauhid (shirath al-mustaqim), al-Ahadiyah.. Rabbul 'Alamin.
Mudik yg diupayakan agar tetap dalam Nyaman (damai, Islam), Aman (Iman) dan Selamat sampai tujuan (Ahadiyah), serta tidak tersesat (adh-Dhaalliin) dan tidak celaka (al-Maghdub).
“Mengapa dikatakan 'id (kembali)..? Karena perayaan itu kembali setiap tahunnya dengan beragam Kebahagiaan yang baru." (Muhyiddin Ibn Arabi ra.)
Selamat mudik, lahir maupun batin. Ttdj.. 😍
Semoga..
#ombad 27 #ramadhan 1440 H.
#tasawuf #imamsyafii #ibnarabi