Jengkol. Sudah mah namanya gak keren, gimanaa gitu.. memper-memper si anu, bentuknya gitu-gitu aja tidak aerodinamis, baunya a'udzubillaah, hasil outputnya jg sangat khas, tetap bau jg, bikin manyun yg bersihin WC. Tapi aneh, banyak jg yg suka bahkan nge-fans, termasuk bapaknya anak sy... 😀
Saking banyaknya yg nge-fans dan hasil panennya segitu-gitu aja, otomatis dari segi harganya, si jengki ini sudah mulai memasuki kelas ekonomi menengah ke atas. Kasihan bagi jengki lovers ekonomi bawah, bau dan lekkernya jengki mungkin tinggal harapan dan kenangan, sambil berharap-harap cemas nunggu kiriman semur jengkol tetangga kaya, walau se-emprit.
Dan seperti biasanya di dunia ini, dimana ada yg suka dan nge-fans, selalu ada jg yg tidak suka bahkan membencinya. Suatu Keseimbangan, ada jengki lovers dan ada jengki haters.
Jengki haters, "Koq bisa doyan jengkol, memuakkan baunya, apalagi kalo udah kencing di WC. Amit-amit jabang bayi..!"
Jengki lovers, "Wuihh.. Makanan para raja, pulen, gurih. nikmaat... Bau..? Ahh biasa aja."
Akan selalu seperti ini, bagai sisi mata uang, sisi suka dan tidak suka, sisi cinta dan benci.
Mungkin, para jengki haters akan selalu berusaha menjauhi jengki yg memang bau, plus ditunjang penguatan dalil asam jengkolat. Dan sebaliknya, para jengki lovers akan tetap berusaha bisa menikmati jengki semahal dan selangka apapun, karena sudah pernah bahkan sering merasakan gurih pulennya nikmat jengkol, plus selalu berpegang pada dalil-dalil kemanfaatan jengkol.
Yang satu, terhalang gangguan bau di luarnya, atau pernah icip-icip tapi belum sesuai dengan hati seleranya, dan yg satu lagi karena sudah merasakan kenikmatan lahir batinnya.
Jadi, akan tetap ada dua pilihan, pilihan untuk tetap menjadikan sebagai sebuah misteri, ataukah pilihan untuk tetap menikmati lekkernya jengkol sebagai salah satu hidangan mahal, dengan cara 'out of box' penciuman hidungnya, seiring dengan makin langkanya jengkol yg aduhai.
Selamat berjengkol-ria... 😀
**
“Aku mendatangi semua pintu Allah Azza wa-Jalla, dan yg kudapati penuh sesak, namun ketika aku datangi Pintu Hina Dina dan Rasa Butuh, rasanya begitu sunyi. Ketika aku masuki melalui pintu tersebut, tiba-tiba aku sudah berada di paling depan mendahului kaum Sufi dan aku tinggalkan mereka yg berdesak-desak memasuki pintu-pintu-Nya yg lain.” (Syeikh Abdul Qadir al-Jailani qs)
Bandung, 16 Juni 2016
#ombad #tasawuf