Di akhir tahun 1998, beberapa bulan setelah Soeharto lengser, Gusdur yg waktu itu masih menjabat Ketua PBNU sedang berada di Wonosobo untuk mengikuti acara NU, bertempat di Gedung PCNU Wonosobo.
“Pripun Gus situasi politik terbaru..?” tanya seorang Kiai.
“Orde Baru tumbang, tapi negeri ini sakit keras.” kata Gusdur.
“Kok bisa Gus..?”
“Ya bisa, wong yg menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yg jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan negeri ini diambang kehancuran, diambang perang saudara. Arah politik Negeri ini sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru berapa bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan Provinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.”
“Gus, terus siapa yg paling pas jadi Presiden nanti Gus..?”
“Ya saya, hehehe…” kata Gusdur datar.
Semua orang kaget dan menyangka Gusdur guyon seperti biasanya yg memang suka guyon.
“Yang bisa jadi Presiden di masa seperti ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau jadi Presiden walau sebentar hehehe..”
“Siapa yg ngabari dan yg nyuruh Gus..?”
“Gak usah tahu. Orang NU tugasnya yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari NU..”
Orang yg hadir di ruangan itu bingung antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi fisik Gusdur. Gusdur melanjutkan :
“Indonesia dalam masa menuju kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan separatismenya yg membahayakan, tapi yg mem-back up di belakangnya. Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur menjadi Indonesia Serikat, maka mereka melatih para pemberontak, membiayai untuk kemudian meminta merdeka seperti Timor Timur yg dimotori Australia.
Tidak ada orang kita yg sadar bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi Presiden, agar bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yg back up, GAM siapa yg ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa Provinsi sudah siap mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.
Saya mau jadi Presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yg menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi Presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami langkah saya.”
Para Kiai pada bingung. Gusdur seakan mengerti raut wajah kebingungan para kiai, lalu menjelaskan :
“Jelasnya begini, tak kasih gambaran.. Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka biarkan rumah ini terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yg mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan penyelamat yg dielu-elukan.
Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan ranggas ke tempat itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah dia rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalah dia tangan kanannya yg lega terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.
Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok kena angin sehingga menyalakan sampah kering, api di sampah kering membesar lalu menyambar jerigen bensin yg baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.
Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, tapi semua ada sebab-musabab. Kalau Sebab dicegah maka Musabab tidak akan terjadi. Kalau seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air lalu disiram sehingga tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yg waskito, yg tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang yg mau menaruh jerigen bensin, atau menghadang orang yg merokok agar tidak lewat situ, atau gak buang puntung rokok di situ sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.
Tapi nanti yg terjadi adalah, orang yg membawa jerigen akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: 'Apa urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana..?' Pasti itu yg akan dikatakan orang itu.
Lalu misal ia memilih menghadang orang yg mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ, kita bilang: 'Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok, karena nanti Panjenengan akan menjadi penyebab kebakaran rumah itu'.
Apa kata dia: 'Dasar orang gila, apa hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar..? Lagian mana rumah terbakar..?! Ada-ada saja orang gila ini. Minggir..! saya mau lewat'.
Nah, ini peran yg harus diambil NU saat ini. Suara langit sudah jelas, negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan populer, tapi rumah itu selamat. Tak ada selain NU yg berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: 'Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku jadi Presiden'.
Poro Kiai ingkang kinormatan.. kita yg akan jadi Presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yg akan menaruh bensin. Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara, dan pekerjaan itu secara dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil. Waktu yg singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.
Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, Presiden dan pimpinan-pimpinan negara yg simpati padanya harus didekati. Butuh waktu lama. Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yg bermarkas di Belanda, harus ada lobi ke negara itu agar tak mendukung RMS, juga negara lain yg punya kepentingan di Maluku.
Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yg saya tahu binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yg jadi penyokong Papua Merdeka, mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yg menyerang warga Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri. Ini yg paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat.
Jadi mohon para Kiai dan santri banyak istighosah nanti agar tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yg terjadi nanti, karena kita memilih jadi pencegah yg tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi sana-sini.”
Sekonyong Gusdur berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhirnya:
“NKRI bagi NU adalah Harga Mati..!
Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum wrb..”
Dan sekitar 3 bulan kemudian Gusdur pun jadi Presiden.
Semoga...
#ombad #gusdur #NU