Dalam mengarungi lautan spiritual, selalu ada jebakan ilusi/fantasi. Sangat sulit untuk membedakan mana fenomena (pengalaman) yg asli, mana yg palsu.
Ada kemiripan, misal di "posisi" 2.4 dengan di 5.4 atau 6.4 atau 7.4 ... mana yg di 2, di 5, di 6 atau di 7 ..? Pasti membingungkan, malah banyak yg tertipu, menyangka sudah di lantai 7 padahal baru di lantai 3...
Indikator untuk membedakannya sangat bergantung pada Kebeningan Qalbu, dalam hal ini hubungannya dengan Shiddiqiyyah. Atau dengan bahasa lain, membedakan mana yg baik atau mana yg ilusi itu hanya bisa dilihat dari posisi Shiddiqiyyah. Artinya, sebagai seorang pejalan (salik) yg belum memasuki Shiddiqiyyah, akan sangat sulit untuk bisa membedakannya, dan itulah kenapa diperlukan seorang Mursyid sebagai penunjuk jalannya. Kenapa? Karena seorang Mursyid telah mencapai maqam tersebut.
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
"...Barangsiapa yg diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yg mendapat petunjuk; dan barangsiapa yg disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang Wali Mursyid (pemimpin yg dapat memberi petunjuk kepadanya)." (QS. Al-Kahfi: 17)
Jadi, perjalanan spiritual itu bukan sekedar naik saja, tetapi berhubungan dengan terintegrasinya pemahaman baik dalam konteks Syariat, Thariqat, Hakikat maupun Makrifat. Suatu kelengkapan pemahaman secara multidimensi, secara holistik, baik aspek lahiriah maupun batiniah, baik aspek vertikal maupun horizontal.
Secara esensi, aspek integrasi ini "tersirat" dalam ucapan Imam Syafi'i ra. berikut ini:
"Seseorang tidak diperkenankan memberi fatwa kecuali dia mengetahui Al-Quran dan Hadist Nabi secara lengkap, termasuk ayat-ayat yg telah dihapus, dan ayat-ayat yg menghapusnya, dan ayat yang mirip satu sama lain, dan apakah surah itu diturunkan di Mekah atau di Madinah.
Dia harus mengetahui seluruh koleksi Hadist Nabi, baik yg otentik maupun yg palsu. Dia harus memahami bahasa Arab pada masa Nabi beserta gramatika dan keistimewaannya, serta mengetahui puisi-puisi Arab.
Di samping itu, dia harus mengetahui kebudayaan berbagai masyarakat yg tinggal di berbagai tempat. Jika seseorang memiliki seluruh pengetahuan itu dalam dirinya, ia boleh berpendapat bahwa ini halal dan itu haram. Jika tidak, maka ia tidak punya hak untuk mengeluarkan fatwa."
Semoga....
#ombad #tasawuf