Berlaku ADIL itu mudah diucapkan tetapi sangat sulit dilaksanakan.
Misal, ketika dalam sebuah persidangan, siapapun yg jadi terdakwa akan berusaha membela dirinya. Jadi suatu kewajaran jika seorang terdakwa selalu berusaha mengejar bukti-bukti yg meringankan dirinya.
Hanya kadang seperti layaknya sebuah pertandingan bola, masing-masing suporternya bersitegang saling membela tim kesukaannya. Banyak suporter yg tidak objektif melihat pertandingan tim kesukaannya, karena yg dicari hanya skor dan kemenangan tim yg disukainya.
Itulah kenapa bersikap Adil itu sedemikian sulit karena yg dijadikan pijakannya masih SELERA, bukan objektivitas.
Memang salah satu faktor yg merusak sikap Adil itu adalah subjektivitas, sebutlah "Selera", dan "selera" yg dimaksud adalah hawa nafsu. Ayat di bawah menerangkan bahwa salah satu "selera" itu adalah "kebencian" atau rasa benci. Subjektivitas.
"Wahai orang-orang yg beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yg selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan Adil. Dan janganlah Kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku Adil..." (QS. Al-Maidah: 8)
Dan begitupun, jangan karena rasa suka atau cinta yg berlebihan yg dijadikan patokan dalam menakar sesuatu. Objektif karena Allah (Kebenaran). Lihat juga QS. An-Nahl: 90.
Sy pernah posting kisah pengadilan antara Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib dengan pencuri baju zirahnya, dan Beliau tetap kalah di pengadilan karena kurangnya bukti-bukti meski pada saat itu Beliau sebagai seorang Khalifah.
Suatu hari....
Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib kw. akhirnya mengetahui dan menemukan baju zirahnya yg dicuri oleh seorang Yahudi.
Jika ingin menggunakan pengaruh dan kekuatan kekuasaannya sebagai seorang Khalifah, tentu sangat mudah untuk merebut, memaksa, dan main hakim sendiri. Meskipun sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, ia tidak main hakim sendiri. Tapi apa yg dilakukan Beliau...?
Akhirnya Beliau pun mengajak si orang Yahudi tersebut menyelesaikannya di Pengadilan, dan terjadilah persidangan yg adil.
Dengan hanya ditemani anaknya (Hasan), ia menghadap hakim, dan akhirnya sidang memutuskan baju zirah itu tetap milik si yahudi karena 'Ali kekurangan saksi. Soalnya saksi yg ia miliki hanya anaknya dan pekerjanya, sehingga ditolak oleh pengadilan karena dianggap punya hubungan pribadi dengan si pelapor.
Dan dengan santun Khalifah 'Ali pun menerima hasil putusan pengadilan, padahal Beliau tahu persis bahwa baju zirah itu dicuri darinya.
Adil kah pengadilannya sayyidina 'Ali tersebut...? Ataukah Beliau dan para pendukungnya merasa didzalimi oleh hakim di pengadilan (ket. sistem peradilannya sudah sesuai syariat dan sayyidina 'Ali pun ikut membuat sistemnya)...? Padahal si hakimnya itu kan bawahannya ya..? Apalagi pihak sayyidina 'Ali itu yg benar, tapi dalam tataran peradilan publik, ada hal-hal lain yg jadi pertimbangan hukum.
Lihat Kaidah Ushul Fiqh ini:
الاصل براة الذمة
"Hukum asal itu tidak adanya tanggungan."
Maksudnya, seorang yg didakwa (Mudda’a ‘alaih) melakukan suatu perbuatan, lalu bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, dan terbebas dari segala tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yg mendakwa (Mudda’i).
Artinya apa?
Penegakan Keadilan dalam suatu sistem peradilan itu butuh hal-hal yg meyakinkan, apakah itu saksi-saksi yg adil dan juga bukti-bukti yg cukup. Jadi bukan masalah Selera (benci atau cinta).
Kenapa?
Karena yg didakwa (Mudda’a ‘alaih) pun punya hak untuk mendapat Keadilan. Jadi jangan sampai di satu sisi menyelamatkan suatu pihak, tapi di sisi yg lain mengorbankan Keadilan. Dzalim itu namanya.
Silahkan renungkan...
Semoga.....
#ombad #tasawuf