12 August 2019

TASAWUF DALAM TITIK KESETIMBANGAN

Titik Kesetimbangan dari setiap individu itu bisa berbeda-beda seperti halnya frekuensi natural tubuhnya.

Di satu sisi manusia itu dibekali dengan aspek paradoks dalam dirinya, tetapi di sisi lain Tuhan menyuruh manusia untuk berproses sampai mencapai "titik kesetimbangan" dirinya, sehingga bisa "centering" dalam dirinya serta bisa "harmonious balance" dengan sekitarnya.

Sulitnya mencapai Titik Kesetimbangan ini sesulit mencapai Daim atau Wustha dalam shalat, serta sesulit mendiamkan pikiran agar bisa diam di Pineal, sehingga nanti bisa "jelas" dalam merasakan "pembatas" antara tubuh bagian kiri dengan bagian kanan, ataupun "pembatas" antara pikiran bagian kiri dengan bagian kanan.

Butuh waktu dalam memproses hal-hal yang saling berlawanan, saling meniadakan, saling bermusuhan. Masing-masing akan berusaha agar bisa menang dalam menghadapi rivalnya. Perbedaan antar masing-masing kutub awalnya sangat ekstrim, sangat besar selisihnya, sehingga menyebabkan konflik dalam diri. Lalu Tuhan pun memberi "keyword" Pasrah, Ikhlas dan Ridha, dan seiring waktu perbedaannya makin "kecil" sampai mencapai "garis" Kesetimbangan diri, atau bisa disebut kondisi "flat" ataupun nol.

Kedua hal yang berlawanan --fisik-nonfisik, lahiriah-batiniah, eksplisit-implisit, tersurat-tersirat, logika-rasa, otak kiri (IQ)-otak kanan (EQ), transedental-horizontal, hablum minallaah-hablum minannaas, dsb-- ini setiap saat berada dalam sebuah timbangan yang idealnya diam di tengah-tengah.

Kesetimbangan diri harus bisa berada di titik tengah dari dua hal yang ekstrim. Analoginya, Hemat adalah titik tengah dari Boros dan Pelit, ataupun Pemberani adalah titik tengah dari Nekad dan Pengecut.

Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu ummatan Wasathan (umat yg adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (QS. al-Baqarah: 143)

Islam itu al-Wasathan, yang artinya Seimbang (balance), Moderat, Equilibrium. Apakah itu antara sisi material dan spiritual, dunia dan akhirat, bahkan juga dalam sikap. Bukankah sebaik-baiknya suatu perkara adalah yang di pertengahan..? Pada setiap manusia pun yang paling enak kan yang di tengah-tengah ya.. 😍

Ada dua sifat utama yg melekat pada ummatan Wasathan, yaitu:

1. Al-Khairiyyah, selalu berorientasi kepada yg terbaik, keutamaan dan adil.
2. Al-Bainiyyah, pertengahan, moderat, tidak ekstrim kanan ataupun ekstrim kiri.

Tetapi, kadang ada orang yang menetapkan titik Keseimbangan menurut ukuran/kadar yang hanya diyakini sebagai kebenarannya sendiri, menetapkan secara membabi-buta seakan kebenaran dirinya adalah yang paling absolut, paling benar. Mereka menetapkan titik keseimbangannya tersebut dengan sangat kaku, lalu memaksakan dirinya dan orang-orang di sekitarnya untuk mengikuti dan meyakininya, menolak habis dan secara total kadar/ukuran dari yang lain jika berbeda dengan dirinya atau kelompoknya.

Jika hal seperti ini keukeuh dilakukan maka selain menghasilkan konflik internal, akan memunculkan konflik eksternal juga. Inilah penyakit mental dan hati, karena jiwanya tetap terkungkung dalam pembenaran, penyangkalan dan kegalauan diri sendiri.

Itulah kenapa masih banyak manusia yang memperebutkan Merasa Tahu dan bukan Pengetahuan, serta masih banyak yang memperebutkan Pembenaran, dan bukan Kebenaran.

Artinya, Kepandaian itu berhubungan dengan Tahu Batas, dan Kebijakan itu berhubungan Waktu serta Prioritas. Jika selalu merasa lebih besar dan lebih benar maka itu namanya sombong, seindah apapun dituangkan dalam ucapan dan kata-kata.

Jadi berusahalah menjadi pribadi yang Wasathan (khairiyah bainiyah) agar selalu bisa bersikap terbuka dan objektif.

Semoga..
#ombad #tasawuf #dalam