25 January 2018

TASAWUF DALAM SEORANG "BABU"

Seorang tukang bubur, tingkat pendidikan rendah, kasus hukum.
Seorang dosen, tingkat pendidikan tinggi, kasus hukum.
Seorang ........ ah sudahlah.

Kasus-kasusnya berbeda namun bermotif sama yaitu ketidak-sukaan, dan mungkin karena Kebencian. Pikiran yg tertuang lewat tulisan atau tindakan pun menjadi cerminan perasaan hati/jiwanya.

Semua berawal dari kondisi hati. Ketika tidak bisa mengontrol perasaan dan hati, maka emosi pun akan terpancing provokasi suatu berita atau opini. Apakah opini-opini yg berseliweran ini yg harus disalahkan..?

Tentunya tidak, karena setan/iblis itu akan tetap ada sampai kapanpun. Bukankah dalam agama pun seperti itu, ketika melakukan suatu kesalahan maka yg salah adalah dirinya sendiri. Jangan menyalahkan setan/iblis karena setan/iblis mah memang tugas jabatannya seperti itu... :D

Kesadaran diri harusnya bisa menjadikan objektivitas dan kebeningan hati sebagai majikannya, sementara emosi, hawa nafsu dan pikiran buruk menjadi babunya. Jika yg terjadi sebaliknya, maka siap-siaplah menghadapi masalah.

Bukankah sebuah kereta bisa menjadi sangat berbahaya jika kusirnya (baca: babu kereta) tidak bisa mengendalikan kuda-kuda penariknya...?
 
Jadi kesimpulannya :

- Pendidikan tidak menjamin orang jadi bijak, jika hatinya masih berperan sebagai babu dari hawa nafsunya.

- Di dalam diri itu selalu ada peran babu dan majikan. Jadi jangan memandang rendah seorang babu, karena pada dasarnya kita semua itu babu, apakah babu di perusahaan orang, babu proyek, babu negara dan babu Tuhan.

- Kemuliaan seseorang itu tergantung kondisi hati, keimanan dan tindakannya. Tentunya lebih mulia seorang babu yg jujur daripada seorang milyarder tukang suap proyek ataupun seorang koruptor, ataupun seorang pejabat tukang kutip.

- Karena berkah dari rezeki halal ibunya, banyak anak seorang babu pun jadi majikan.

***
Mohon maaf sy menulis kata "babu", ini sebagai bentuk sindiran kepada "yang mulia" (baca: yang merasa mulia).


Semoga.....
#ombad #tasawuf