IKHLAS itu sangat sulit, bahkan paling sulit. Apalagi dari pola pendidikan yang kita terima sejak kecil "tanpa disadari" selalu berkutat pada orientasi Hasil (baca: untung, pamrih).
Dalam hal ibadah pun, selalu ujungnya memakai "imbalan" atau "pamrih". Menguntungkan, jika ke surga, dan tidak merugi ke neraka. Dan "dibuatlah" aturan-aturan, lengkap dengan kata-kata "dilarang" atau "diharamkan", disarankan atau diperbolehkan, dihalalkan, bahkan diwajibkan. Tentunya supaya ada semangat dan motivasi untuk mengikutinya, serta tak lupa juga disertai bumbu penarik hati, yaitu aspek "reward & punishment".
Bukankah begitu juga ketika menerapkan urusan pendidikan (sekolah) ke anak..? Rajin belajar biar jadi dokter, dan ujungnya agar supaya bisa kaya. Biar jadi insinyur, agar makmur. Bahkan urusan zakat, sedekah serta infaq pun dibikin menarik supaya bertambah kaya dan makmur berkali-kali lipat.
Salahkah seperti itu..? Tentu tidak, karena "kesadaran" terluar sangat berhubungan dengan Keinginan dan nafsu-nafsu, yang notabene berhubungan semua dengan kesenangan secara lahir.
Aktualisasi aturan yang awalnya didasari "kewajiban yang pamrih" --butuh balasan-- ini akan bertransformasi menjadi "kewajiban tanpa pamrih" --terserah mau ada balasan atau tidak, yang penting melakukan sebaik-baiknya--. Dan tahapan selanjutnya adalah menjadi suatu "kebutuhan", karena sudah terbiasa melakukannya. Jika sudah seperti ini, akan ada sesuatu yang hilang saat tidak melakukannya, perasaan dan hati pun menjadi tidak tenang. Dan kedamaian dan ketentraman akan muncul saat bisa melakukannya, sebutlah ini "surga".
Akhirnya, ketika aspek "kebutuhan" ini sudah bisa melewati "ketidak-inginan" dan "keinginan" maka diharapkan akan lebih mudah dalam menapaki tahapan selanjutnya, yaitu "Keikhlasan" dan "Keridhaan". Perlu diketahui, dalam konteks transedental, Keikhlasan itu "satu arah" sementara Keridhaan itu "dua arah".
Sehubungan dengan proses transformasi ikhlas ini, Abah Anom (TQN Suryalaya) pernah memberi nasehat dalam tausiahnya, 10 April 1970 sebagai berikut :
"Dalam melaksanakan ibadah, tidak bisa langsung ikhlas, biasanya dilaksanakan pada awalnya karena Pamrih Ingin ini dan itu. TIDAK APA-APA UNTUK SEMENTARA. Teruslah laksanakan ibadah tersebut untuk melatih diri, untuk melatih agar menjadi biasa, untuk melatih Ridha dan Ikhlas karena perintah Allah Ta'ala. Alat latihannya supaya hati bisa menjadi Ikhlas dan Lillaah (karena Allah) adalah rajin berdzikir mengucapkan kalimat Thayyibah (Laa ilaaha illallaah), sampai terasa menetap di dalam Rasa."
Jadi ada suatu proses dalam mengedepankan sesuatu, apakah mau mengedepankan segala bentuk ciptaan atau mengedepankan sang Penciptanya. Dan ujungnya harus bisa mengedepankan Sang Pencipta tanpa tergiur segala sesuatu yang diciptakan-Nya, serta hanya hati yang bisa memilih dan merasakannya.
"Dalam diriku Kau tumbuhkan: terkadang duri, terkadang mawar. Dan kucium bau mawar, dan kucabut duri. Kalau memang Kau biarkan aku begitu, begitulah aku. Kalau Kau biarkan aku begini, begini pulalah aku." (Rumi)
Semoga...
#ombad #tasawuf