Awal yang indah itu akhirnya tergeletak kotor di tanah bercampur lumpur. Mereka pun diikat bahkan ada yang dikarungin untuk menuju lokasi selanjutnya. Ada yang disukai serta dipilih untuk dibawa, ada juga yang tidak disukai, menjadi makanan para binatang, bahkan ada yang dibiarkan membusuk menjadi sampah.
Mereka yang terpilih pun siap untuk diproses, dicuci, dibilas, dikupas, dipotong-potong bahkan diiris-iris pisau. Dan selanjutnya dipanaskan dengan api yang berkobar di bawah wajan berminyak, dan semakin panas.
Terlihat, para buncis, wortel, kol, brokoli, dan temannya yang lain saling bercampur dalam gerah dan panas. Sebiji buncis yang sedang direbus di atas api pun meronta dan terus melompat hingga hampir melampaui bibir wajan.
“Kenapa kau lakukan ini padaku..?” protes sang buncis.
“Jangan coba-coba melompat ke luar.. kau kira aku sedang menyiksamu..? Aku sedang memberimu cita rasa terbaik..! Sehingga kau layak bersanding dengan rempah dan nasi untuk menjadi gelora kehidupan dalam diri seseorang. Ingatlah saat-saat kau nikmati regukan air hujan di kebun. Saat itu ada untuk saat ini..!” jawab sang Juru Masak sambil menolak sang buncis dan mengembalikannya kembali ke atas wajan yang panas.
Begitupun saat sekerat wortel bertanya, saat brokoli protes, ataupun saat kol marah merajuk pun, jawaban dari sang Juru Masak selalu sama, ya.. untuk cita rasa. Cita rasa akan Keindahan, lalu cita rasa untuk Kenikmatan.
Waktu tetap berjalan, dan akhirnya timbullah sesuatu yang baru dalam diri mereka. Meski melewati saat-saat yang begitu menyiksa, mereka makin lama makin yakin bahwa ini semua terjadi untuk terciptanya kehidupan yang baru, untuk sebuah kenikmatan dari kehidupan, dan untuk memperpanjang kehidupan. Sampai bisa membuat orang-orang pun bersyukur.
Sampai akhirnya, sang buncis bersama para wortel, brokoli dan kol pun berkata pada Sang Juru Masak dengan penuh rasa syukur,
“Rebuslah aku lagi.. hajar aku dengan sendok masakmu, karena aku tak bisa melakukannya sendirian. Engkaulah yang membuatku masak, mematangkanku, engkaulah pawangku, dan engkaulah jalanku menuju cita rasa kesejatian, cita rasa kesempurnaan. Dan aku suka caramu membuat masakan.
Aku tidak ingin seperti binatang yang melamun dan berkhayal tentang di hutan-hutan indahnya yang dulu ditinggalkan. Dan akupun tidak mau tersesat, menjadi sampah, dan menuju tempat sampah karena tidak memperhatikan dan mengikuti arahan dan jalanmu.."
Sambil mematikan api, sang Juru Masak pun berkata,
Ya, dulu aku pun seperti engkau, masih hijau dari atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam lamanya waktu, direbus matang dalam jasad. Direbus dalam dua rebusan yang dahsyat.
Jiwa binatang dalam diriku tumbuh kuat, mengikatku bahkan merusak dan mengoyak-ngoyak benih kebaikanku. Kukendalikan dia dengan latihan, lalu aku direbus lagi, dan direbus lagi. Pada satu titik aku melampaui itu semua, dan menjadi gurumu.
Ya, aku sadar, dulu..
AKU MENTAH,
AKU DIMASAK,
AKU TERBAKAR, dan
AKU DALAM KENIKMATAN.
Semoga..
#ombad #tasawuf #dalam