07 November 2017

HITAM ATAU PUTIH...?

Saat dalam koridor aturan/hukum, maka dualitas begitu jelas, yg ada hanya Benar atau Salah. Tetapi dalam praktiknya, kadangkala batas yg jelas antara Salah dengan Benar, antara Hitam dengan Putih pun menjadi bias.

Semisal kejadian ketika Perang Bharatayudha : 

- Ketika Arjuna berhadapan dengan Kakak seibunya yaitu Karna. Apakah situasi ini merupakan pemenuhan kewajiban seorang ksatria ataukah menghilangkan nilai ikatan persaudaraan..?

- Bima yg katanya seorang ksatria, sesudah mengalahkan Dursasana, malah memutilasi Dursasana dengan alasan darahnya dibutuhkan oleh Drupadi sebagai tebusan karena Drupadi pernah dinodai Dursasana. Apakah situasi ini merupakan sifat seorang ksatria ataukah hanya pemenuhan kewajiban pelaksanaan sumpah/nazar..?

Begitupun dalam Islam, di atas ilmu Fiqih, masih ada ilmu Ushul Fiqih, dan di atasnya lagi masih ada ilmu Tasawuf. Ketika dalam koridor Fiqih, Nabi Musa as. bisa menyalahkan dan memprotes Khidir as. Tetapi ada suatu kondisi dimana batas antara Benar dan Salah pun menjadi bias, lalu paradoksial, seperti pengajaran Khidir kepada Musa.

Artinya, kadang berpikir jangka panjang lebih diutamakan. Kadang menghargai perasaan orang lain lebih diutamakan, daripada sekadar halal-haram. Kadang, Kebaikan lebih utama daripada Kebenaran, seperti dulu sewaktu Walisongo pernah "melarang" berkurban (idul adha) pakai sapi. Kadang juga, berpegang pada rasa cinta lebih diutamakan meski diteriaki gila.. :D

"Majnun sudah gila... Majnun sudah gila..!" Kata orang-orang yg melihatnya.

"Tidak, Majnun tidak gila.. Dia hanya sedang Jatuh Cinta.." Kata orang yg telah mengalaminya.

Sebutlah, yg pertama adalah tentang salah atau benar, tentang Hitam atau Putih. Dan yg kedua, adalah tentang Tasawuf, yg bisa menyelaraskan Hitam Putih, asal-usulnya (ushul), "hikmah" serta "bijak", dan menjadi "cinta".

Kadang harus seperti Majnun, yg cintanya begitu melebur dengan Laila yg dicintainya, dan menemukan percikan Tuhan di dalam dirinya.

Semoga....
#ombad #tasawuf