12 September 2017

PERISTIWA CIMAREME 1919

"AFDELLING B" 1919

Darah siapakah yang menggenang merah
Membasahi bumi Priangan?
Ah, itulah darah H. Hasan
Dipotong, seanak bininya

Konon, apakah H. Hasan seorang perampok?
Ah H. Hasan hanya mempertahankan sejengkal tanah,
Beberapa pikul padi dan bakul beras, mempertahankan anak bininya,
Tetapi lehernya dipenggal, sekeluarga menemui ajal,

Dan darah menggenang merah,
Dan si perampok berkulit putih, mengamangkan goloknya,
Di tengah perjalanan sejarah.

Ia haus darah, haus darah….

Priangan adalah sebuah karesidenan di sebelah tenggara propinsi Jawa Barat. Priangan dibagi menjadi tiga wilayah yaitu: Priangan Barat, Priangan Tengah dan Priangan Timur.

Priangan Barat meliputi kabupaten Sukabumi dan Cianjur, dengan ibukota Sukabumi. Priangan Tengah meliputi kabupaten Bandung dan Sumedang, dengan ibukota Bandung dan Priangan Timur ber-ibukota Tasikmalaya, yang meliputi wilayah kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.

Daerah tempat terjadinya peristiwa yang dibahas pada tulisan ini adalah kampung Cimareme yang terletak di Desa Cikendal, kecamatan Leles, Kabupaten Garut.

Pada tahun 1919 kabupaten Garut terdiri dari empat distrik yaitu: distrik Baluburlimbangan, Leles, Tarogong dan distrik Cibatu. Distrik Leles terletak di sebelah utara kota Garut, sedangkan kampong Cimareme berada di sebelah timur kota Leles. Di sebelah utara berbatasan dengan distrik Baluburlimbangan dan distrik Cicalengka, sebelah barat dengan distrik Ciparay, sebelah selatan distrik Tarogong, sedangkan sebelah sebelah timur distrik Cibatu. Distrik Ciparay dan Cicalengka termasuk wilayah kabupaten Bandung. Beberapa gunung mengelilingi kabupaten Garut, yaitu gunung Guntur, gunung Mlabar, gunung Papandayan, gunung Cikuray, gunung Galunggung dan gunung Telagabodas. Karena itulah, daerah ini cukup subur.

Pada tahun 1917, luas tanah pertanian di daerah Priangan 1.052.644 bau, diantaranya 407.566 bau berupa sawah. Penduduknya berjumlah kl. 3.300.000 jiwa, terdiri dari 12.000 orang Eropa, 22.000 orang Timur asing dan selebihnya penduduk pribumi. Priangan terdiri dari 1498 desa, sedangkan kabupaten Garut mempunyai luas 3.143 km2 dengan jumlah penduduk 546.000 jiwa.

Perekonomian Priangan bersifat agraris, karena itu penduduk desa bekerja sebagai petani, baik itu sebagai pemilik tanah maupun sebagai petani penggarap. Sistem pertanian yang ada dengan cara bagi hasil dan buruh tani. Pola penanaman utama adalah tanaman padi yang diusahakan disawah. Penanaman padi disawah sebagian besar hanya dipanen sekali setahun dan hanya sawah-sawah yang bagus irigasinya yang dapat dipanen 2 kali setahun.

Didaerah Limbangan, Tasikmalaya, Sukabumi dan Cianjur dapat dipanen 3 kali dalam waktu 2 tahun. Di daerah lereng pegunungan, karena langka air, orang menanam padi ditanah kering yang disebut tipar, ceger, gaga atau huma walukuan. Di tanah kering ini penghasilan petani diperoleh dari penanaman singkong, kacang tanah, kentang, cabai, jagung dan kedelai. Dari tanaman singkong akan dibuat tepung tapioca yang hasilnya akan dikirim ke Batavia, Singapura dan Eropa. Pembuatan gaplek (dari bahan singkong) sudah biasa dilakukan oleh orang Priangan. Di daerah Cianjur, Burangrang, Tangkubanprahu, Cisondari, Banjaran, Majalaya, Ciaparay, Tasikmalaya, Manonjaya dan Limbangan banyak ditanam tembakau. Penduduk juga banyak yang memiliki kebun buah-buahan seperti mangga, rambutan, duku dan coklat. Di Garut yang terkenal adalah jeruk dan vanilli.

Kehidupan rakyat didaerah Priangan pada umumnya dapat dikatakan baik. Rakyat dapat dikatakan tidak sulit mendapatkan uang, baik dengan cara mengerjakan tanahnya sendiri maupun menjadi buruh pada perusahaan perkebunan yang selalu kekurangan tenaga. Jumlah perkebunan diseluruh Priangan sebanyak 1.440 buah, sedangkan di Garut terdapat 182 perkebunan. Perkebunan itu sebagian besar mengusahakan teh, kina, coklat, kapuk, kelapa, lada dan kopi. Meskipun demikian, petani sering kesulitan ekonomi, sehingga terpaksa harus menjual padinya sebelum masa panen. Cara ini disebut system ijon yang menyebabkan muncul tukang borong atau tukang pak.

Masalah yang penting dalam masyarakat agraris adalah pemilikan tanah serta cara pengolahan tanah. Mengenai pemilikan tanah di Priangan pada umumnya tanah dimiliki oleh perseorangan. Tanah yang dimiliki dengan pengolahan sendiri dinamakan yasa, sorangan, Pribadi atau usaha. Tanah warisan disebut tanah turunan. Sedangkan yang diperoleh dengan membeli dinamakan yasabanda. Jabatan pribumi merupakan hak turun-menurun yang menyebabkan tanah-tanah dinas menjadi milik keluarga tertentu. Banyak pegawai pribumi terutama dari golongan atasnya yang menjadi tuan tanah, hal ini disebabkan ketika masih memegang jabatan mereka banyak membeli tanah. Pembelian tanah ini dianggap investasi untuk hari tua. Sewa tanah tersebut dikenakan dengan harga tinggi sehingga penyewa tidak dapat memperoleh kelebihan hasil yang memadai.

Pengolahan tanah biasa dilakukan dengan cara sewa, system bagi hasil atau system upah. Sekitar tahun 1900-an, pada umumnya pajak tanah untuk seluruhnya atau sebagian menjadi menjadi beban penggarap. Di Priangan penggarap menanggung segala sesuatu, kecuali 1/3 dari zakat, yaitu pungutan untuk keperluan keperluan kas masjid.

Masyarakat desa Priangan terbagi dalam dua golongan social yang besar yaitu golongan atas yang terdiri atas elit desa dan golongan bawah yang terdiri atas petani miskin, buruh tani, tukang, dsb.

Desa-desa terbagi-bagi menurut stratifikasi social yang didasarkan atas pemilikan tanah. Dalam masyarakat agraris, tanah merupakan sumber kekayaan utama, sehingga orang yang memiliki tanah luas mempunyai prestige yang tinggi.

Masyarakat desa dibagi atas 3 lapisan, yaitu penduduk asli, pendatang dan orang numpang. Penduduk asli disebut pribumi, jalma bumi, bumen wantok, kuren tani atau tani cekel. Mereka merupakan golongan inti yang nenek moyangnya menjadi pendiri desa, sehingga mereka memiliki sawah, pekarangan dan rumah. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang penuh sebagai warga desa, misalnya membayar pajak dan kerja bakti terhadap Negara. Pada umumnya mereka merupakan tulang punggung perekonomian petani serta sebagai golongan elit diantara penduduk desa.

Di Priangan dikenal dengan istilah tani sentana, yaitu petani yang memiliki sawah, pekarangan dan kebun yang luas serta lebih dari cukup untuk keperluan sendiri. Kepemimpinan desa dalam berbagai macam jabatan seperti kepala desa, pamong desa dan pegawai rendahan. Para haji dan kiyai termasuk golongan masyarakat ini. Mereka sering disebut ajengan yang berkedudukan tinggi dalam masyarakat serta dipandang sebagai pemimpin yang beribawa. Karena kepemimpinannya dibidang keagamaan, mereka adalah orang kaya didesa yang acapkali melebihi kekayaan kepala desanya.

Para ajengan ini sering meminjami uang atau bibit padi kepada petani miskin dengan jaminan padi pada saat waktu panen. Loyalitas petani kepada ajengan cukup kuat. Sebagai orang kaya, tani sentana selalu dimintai bantuan oleh petani miskin ketika musim paceklik.

Golongan terendah dalam lapisan masyarakat desa adalah petani yang tidak memiliki tanah atau rumah. Diantara mereka ada yang membangun rumah dipekarangan orang lain bahkan ada yang tidak memiliki rumah dan tanah sama sekali, mereka hanya ikut pada keluarga kaya untuk menjadi pembantu rumah tangga atau menjadi buruh tani.

Demikianlah kondisi status dan stratifikasi masyarakat desa di Priangan, hal ini perlu untuk diketahui oleh pembaca agar dapat memahami peristiwa yang melatar belakangi kejadian & tokoh-tokoh yang berada pada peristiwa Cimareme.

Haji Hasan

Di desa Cimareme terdapat seorang terkemuka yang dikenal dengan nama Haji Hasan. Sebagai seorang haji, H. Hasan menempati status social yang tinggi didesanya. Dia adalah putra kiyai Tubagus alpani, seorang pemimpin pesantren di Cimareme. Ibunnya bernama Djamilah, salah seorang putri dari R. Kartaningrat yaitu pendiri pesantren Cimareme. Menurut gelarnya, ayah haji Hasan merupakan keturunan bangsawan dan kesultanan Banten.

Ditinjau dari status ekonomi H. Hasan adalah orang yang kaya yang mempunyai tanah yang cukup luas yaitu sekitar 10 bau dengan hasil utamaya padi dan tembakau. Dia terkenal karena tenaman tembakaunya yang dikenal dengan nama “Bako Cimareme” dan juga peternakan kuda-kudanya. Karena itu dia mempunyai hubungan yang cukup baik dengan seorang pejabat bernama R.A.A Wiratanudatar yang pernah menjabat bupati garut dari tahun 1871-1916. Selain itu H. Hasan juga dikenal mempunyai hubungan baik dengan dr. Hubenet seorang Belanda yang berprofesi menjadi dokter hewan dari Bandung yang bertugas mengurusi peternakan kudanya. Kuda merupakan suatu kekayaan yang penting pada sat itu. Selain itu H. Hasan juga mempunyai kolam ikan mas yang sangat luas sekali serta juga mempunyai kebun kelapa yang sangat luas yang ditanami kl. 500 pohon.

Haji Hasan dihormati orang bukan saja karena kekayaannya tetapi juga karena usianya yang masih muda tapi sudah memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Dia menjadi guru agama didesanya yang mempunyai pengaruh besar atas para penggarap tanah dan murid-muridnya.

Haji Hasan selalu membekali murid-muridnya pelajaran pencak silat yang dilatih oleh sahabatnya yaitu H.Makbul dari Rancabango. Dan dia juga mendirikan perkumpulan Pencak Silat Gerak Cepat. Perkumpulan itu dipimpin oleh H.Godjali dari Cikajang dan H.Sobandi dari Rancabango, yang kemudian menjadi menantunya. Selain itu H.Hasan juga mendirikan perkumpulan sepak bola bagi santri-santrinya yang dinamakan Voetbal Merdeka Tani. Melihat dari namanya perkumpulan itu memang memiliki semangat yang agresif.

Sejak muda H.Hasan memang mempunyai rasa tidak senang terhadap pemerintahan Belanda. Ayahnya selalu menganjurkan untuk sedapat mungkin tidak bekerja sama dengan Belanda. Dia pernah teribat konflik dengan seorang kontrolir Belanda, ketika penduduk Cimareme diharuskan kerja bakti untuk membuat jalan antara Sindangkulon dan Cibudug. Dia merasa tersinggung melihat sikap kasar dan sewenang-wenang kontrolir itu terhadap penduduk. Dia juga pernah menolak tawaran pemerintah colonial yang hendak mengangkatnya sebagai pemimpin agama yang resmi.

Selain tokoh yang banyak pengikutnya, H.Hasan adalah anggota perkumpulan “Goena Perlaja”, perkumpulan ini dipimpin oleh Kiayi Abdullah dari Tegalgubuk Cirebon. Goena Perlaja adalah semacam pemusatan dari berbagai gerakan revolusioner, yang tujuannya adalah sama dengan SI Afdeling B. Perkumpulan ini diperkirakan mempunyai hubungan dengan beberapa tokoh seperti Surjopranoto, ketua Adhi Dharma (Serikat Buruh Gula), Semaun dari ISDV, Alimin dan Abdul Muis dari SI Batavia serta Sanusi dari Bandung. Jadi wajar bila H.Hasan dicurigai oleh pemerintahan colonial, karena pengaruhnya yang besar dalam masyarakat serta memiliki hubungan dengan perkumpulan-perkumpulan tersebut.

Peraturan Pembelian Padi

Beras merupakan bahan pangan paling utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pada abad ke 19 konsumsi beras terus meningkat sejajar dengan pertumbuhan penduduk. Akan tetapi hasil padi tidak dapat mengikuti kenaikan jumlah penduduk, sehingga hasil padi tidak dapat mencukupi kebutuhan penduduk. Jika penduduk Jawa pada tahun 1900 berjumlah 28.386.121 jiwa, tahun 1905 berjumlah 29.924.558, tahun 1917 berjumlah 33.651.000 jiwa dan 34.433.476 jiwa pada tahun 1920, maka hasil padi rata-rata pada tahun 1914-1923 adalah sebanyak 79.880.000 pikul, ini berarti setiap tahun rata-rata hanya memperoleh 146.3 kg.

Akibat membumbungnya jumlah penduduk, pengusahaan sawah juga makin intensif. Intensifikasi dalam penanaman ini hampir seluruhnya berasal dari pemadatan karya, sejak dari menyemai benih hingga memanen, serta menanami padi dua kali setahun. Pemakaian tanah secara intensif bisa membawa hasil yang kurang baik, tanah kehabisan daya produksi, hasil panen berkurang jumlah rata-ratanya, penyakit dan hama bertambah sehingga kegagalan panen makin sering terjadi (1890-1891).

Untuk mengatasi kekurangan pangan itu, sejak 1870an beras di impor dari negara-negara tetangga seperti Birma, Thailand dan Indo China.

Pada tahun 1911-1912 terjadi kegagalan panen yang hebat dibelahan bumi bagian utara seluruh Asia, keadaan ini berulang lagi pada tahun 1918-1919, sehingga mengakibatkan keadaan pangan makin memburuk. Penyebab hal ini adalah karena kesulitan angkutan laut berupa kapal yang disebabkan karena perang dunia I. Penyebab kedua adalah pada akhir tahun 1918 terjadi masa kering yang panjang ditengah musim hujan, sehingga mengakibatkan keterlambatan panen 1 ½ bulan. Dan penyebab ketiga, dilarangnya eksport beras di Asia Tenggara, sehingga Indonesia tidak bisa memperoleh beras dari luar negeri. Padahal hasil panen Indonesia sangat buruk.

Karena kondisi yang sulit diatas ini pemerintahan colonial Belanda sudah mulai kuatir, perasaan takut kekurangan pangan dan takut akan timbulnya bahaya kelaparan yang semakin meluas dan merata pada semua lapisan masyarakat.

Pada waktu itu di Garut tidak ada beras yang dijual secara bebas, tetapi harus dibeli di kabupaten. Bupati pada waktu itu berperan sebagai pedagang beras. Urusan pengadaan dan persediaan beras dilakukan oleh pegawai pemerintahan colonial dan dibantu oleh pemerintahan desa. Karena peraturan itu rakyat berduyun-duyun pergi ke kabupaten untuk membeli beras, namun beras tidak selalu tersedia sehingga menimbulkan kegelisahan di kalangan rakyat.

Keadaan itu menimbulkan banyak kritik dari organisasi pergerakan terhadap ketidakmampuan pemerintah mengatasi kekurangan pangan. Pada tahun 1918 para pemimpin SI (Sarekat Islam) yaitu HOS. Cokroaminoto dkk mengadakan audensi kepada Gubernur Jendral di Bogor, saah satu usulannya adalah mengurangi sebanyak 50% kebun tebu yang ada diganti dengan tanaman padi. Pada tahun 1914 penanaman padi merupakan tanaman kedua sesudah tebu. Luas penanaman tebu dijawa adalah 210.000 bau pada sawah yang teririgasi. Terdesaknya penanaman padi oleh tebu merupakan salah satu penyebab kekurangan pangan. Kekurangan beras tahun 1914-1917 rata-rata tiap tahun sekitar 400.000 ton atau 13% dari hasil beras di Jawa. Akan tetapi usulan sebanyak 50% itu ditolak oleh Gubernur Jendral dan hanya disetujui sebesar 25%. Tetapi persetujuan itu mendapat tentangan dari kaum pemodal (kapitalis).

Radicale Consentratie mengajukan wakilnya di Volksraad pada bulan febuary 1919, agar kebun tebu di kurangi 25%. Namun mosi itu ditolak dengan suara setuju 10 dan tidak setuju 20 suara.

Sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan pangan, dibandung pada tanggal 17 maret 1919 diadakan pertemuan untuk membahas masalah bahan makanan. Pertemuan itu dihadiri oleh Direktur Pertanian S.Mulder, Residen, Pejabat Pemerintah, para Insinyur, para ahli pertanian dan Komisi Persediaan Makanan. Didalam pertemuan itu dibicarakan mengenai kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi kekurangan beras dan mencegah bahaya kelaparan. Hasil pertemuan itu memutuskan untuk melakukan pembelian padi dari petani. Padi itu akan digunakan untuk persediaan pangan bagi kepentingan rakyat, terutama diluar Jawa.

Sebagai lanjutan dari keputusan itu maka pada tanggal 26 maret 1919 Residen Priangan mengirim surat kepada semua Asisten Residen mengenai peraturan pelaksanaan pembelian padi dari petani di daerah masing-masing.

Kewajiban menjual padi kepada pemerintah ini didasarkan atas luas sawah yang dimiliki oleh setiap petani. Setiap pemilik sawah diwajibkan menjual satu pikul padi setiap satu bau sawah tetapi petani yang memiliki sawah yang subur harus menjual padinya sebanyak 3 pikul dari setiap satu bau sawah.

Untuk petani didaerah Garut, peraturannya berbeda. Petani didaerah ini yang memiliki sawah seluas 5 bau atau lebih diwajibkan untuk menjual padinya kepada pemerintah sebanyak 4 pikul dari setiap bau-nya. Namun petani yang yang memiliki sawah kurang dari ½ bau dibebaskan dari kewajiban menjual padi.

Harga padi yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 4.5 gulden/pikul yang akan dibayar kontan. Harga yang ditetapkan oleh pemerintah ini dibawah pada umumnya harga rata-rata yang berlaku dipasar. Di sekitar Priangan, harga yang berlaku dipasaran Cikalong Kulon dan Ciamis sekitar 4-6 gulden; di Cirebon dan Majalengka sekitar 6-8 gulden. Sementara itu harga padi di Priangan pada waktu itu sekitar 7.5 gulden setiap pikulnya.

Tempat pembelian dilakukan di kantor kepala desa, kecamatan, kewedanaan, kabupaten, di dekat setasiun kereta api atau di tempat penggilingan padi. Tiap petani harus mengangkut sendiri padinya ke tempat-tempat pembelian yang sudah ditetapkan.

Setiap keluarga hanya di izinkan menyimpan persediaan padi paling banyak 3 pikul. Petani yang ketahuan menyimpan padi melebihi batas yang telah ditentukan, akan disita dan didenda 100 gulden. Para pedagang yang memiliki persediaan beras diluar batas, juga akan disita. Untuk memperlancar distribusi beras dilakukan peningkatan pengangkutan beras dari daerah surplus ke daerah miskin. Untuk melaksanakan peraturan pembelian padi, pemerintah menyediakan dana sejumlah 5000 gulden setiap kewedanaan.

Dengan dikeluarkannya keputusan ini maka timbul keresahan dikalangan petani karena penghasilan petani umumnya rendah, maka setiap pungutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh penguasa setelah panen gagal, besar kemungkinan akan mempunyai akibat yang gawat bagi kehidupan petani.

Haji Hasan memiliki sawah seluas sepuluh bau dengan penghasilan sekitar 250 pikul atau kurang lebih 154 kuintal sekali panen. Sehubungan dengan peraturan pemerintah mengenai pembelian padi, dia diwajibkan menjual padinya kepada pemerintah sebanyak 40 pikul atau sekitar 24 kuintal. Meskipun dia telah menerima peraturan itu dan memahami arti penting penjualan padi kepada pemerintah, dia merasa keberatan atas jumlah yang dikehendaki oleh pemerintah. Alasannya , hasil sawahnya itu dipergunakan untuk membiayai hidup sanak keluarganya yang berjumlah 84 orang. Ini berarti tiap orang memperoleh jatah sekitar 183.3 kilogram tiap panen atau 366.6 kg tiap tahun. Disamping itu juga masih ada banyak orang lagi yang menggantungkan hidupnya seperti para petani penggarap. Karena dia dia hanya sanggup menjual 10 pikul atau 6 kuintal padinya kepada pemerintah.

Wedana Leles datang kerumah H.Hasan dengan diantar oleh lurah Cikendal, untuk membicarakan masalah pembelian padi. Haji Hasan menolak uang muka sebagai pembayaran padi sebanyak 40 pikul dan hanya bersedia menjual padinya sebanyak 10 pikul. Sikap keras H.Hasan itu menyebabkan wedana bertindak kasar dan mengancam akan mendatangkan pejabat pemerintah dan pasukan untuk menyita sawahnya. Tindakan wedana itu membuat H.Hasan geram, karena itu pada tanggal 24 april 1919 dia mengirimkan surat permohonan kepada Asisten Residen yang isinya adalah agar mempertimbangkan kembali ketetapan menjual padi 40 pikul itu. Dia mengusulkan agar pemerintah desa Cikendal dan Wedana Leles bersedia melaksanakan peraturan pembelian padi itu sama denga daerah-daerah yang lainnya., yaitu setiap sawah seluas 1 bau sebanyak 1 pikul padi. Dan dia juga menanyakan apakah ancaman penyitaan yang dilakukan oleh Wedana Leles dan lurah Cikendal itu merupakan perintah dari pemerintah yang tertinggi.

Usul pengurangan penjualan padi itu baru disampaikan kepada Asisten Residen oleh Bupati dalam rapat daerah tanggal 10 mei 1919 di kabupaten Garut, tetapi Asisten Residen tetap menolak permintaan H.Hasan tersebut.

H.Hasan menunggu keputusan itu dengan harap-harap cemas. Wedana Leles diberi tugas oleh Asisten Residen untuk memberikan surat keputusan itu kepada H.Hasan tetapi wedana Leles tidak menyampaikan keputusan itu karena takut. Karena menunggu tetapi tidak ada kabar maka H.Hasan mengutus menantunya yaitu H.Kadir untuk menghadap lurah Cikendal dan wedana Leles untuk menanyakan jawaban suratnya. Namun kedua pejabat itu malah marah-marah ketika ditemui. Karena kuatir dan takut akan ancama wedana itu H.Hasan juga mengutus menantunya yang lain yaitu H.Maksuri untuk menghadap Asisten Residen di Garut guna memperoleh kepastian mengenai kepastian permohonannya. Akan tetapi H.Maksuri tidak dapat bertemu dengan Asisten Residen karena sedang pergi.

Ketika H.Maksuri sedang pergi, datanglah sahabatnya dari Tarogong yang bernama R.Muhammad Roesdi. Karena H.Maksuri sedang tidak berada ditempat maka tamu itu berbincang-bincang dengan H.Hasan , pada saat itu H.Hasan menceritakan perihal yang sedang dialaminya. R.Muhammad Roesdi mengusukan agar H.Hasan memenuhi saja tuntutan pemerintah dan dia berjanji bersedia membantu H.Hasan dalam menghadapi pemerintah. Pada saat perjalanan pulang menuju Stasiun Leuwigong, R.Muhammad Roesdi bertemu dengan H.Maksuri yang sedang dalam perjalanan pulang ke Cimareme dan dia menyatakan kesediaan untuk membantu H.Hasan, sambil memperlihatkan sebuah golok yang kepalanya bersarungkan kain putih.

Antara tanggal 18-20 juni 1919 wedana mendengar dari juru tulisnya bahwa H.Hasan menolak untuk menyetorkan jumlah padi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada tanggal 24 juni H.Rasadi dan H.Kadir member tahu wedana bahwa H.Hasan telah mengumpulkan anak-anaknya untuk bertempur melawan siapa saja yang akan mengambil padinya. Wedana Leles pada tanggal 25 Juni 1919 menulis surat kepada bupati Garut yang isinya menerangkan bahwa H.Hasan tetap tidak bersedia menjual padinya sesuai dengan ketetapan pemerintah dan sedang mempersiapkan diri untuk melawan Negara dengan bermacam senjata dan pakaian putih. Sesudah itu pada tanggal 2 Juli 1919, bupati mengirimkan surat kepada Asisten Residen yang menyatakan bahwa H.Hasan telah berbuat kurang ajar dan harus ditindak dengan kekerasan. Akhirnya pada tanggal 3 Juli 1919 Asisten Residen mengeluarkan keputusan untuk menangkap H.Hasan dan memerintahkan untuk meminta bantuan polisi bersenjata dari Tasikmalaya.

Pada tanggal 4 Juli 1919 H.Hasan kembali mengirimkan surat kepada Asisten Residen yang isinya hampir sama dengan suratnya yang pertama dan menyatakan rasa hormat dan ketakutannya kepada pejabat pemerintah, termasuk wedana Leles dan lurah Cikendal. Namun dibalik ketakutannya itu rupanya H.Hasan sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi pemerintah. Mereka juga memakai jimat agar memiliki keberanian terhadap senjata tajam. Disamping itu H.Hasan juga membeli kain blacu putih yang dibagikan sebagai pasukan seragam. Baju dipakai dengan maksud bila seseorang tewas dalam perlawanan, maka tubuhnya sudah terbungkus dengan kain kafan. Tiap orang memperoleh jatah enam meter kain untuk membuat baju yang menyerupai jubah.

Pada hari jumat tanggal 4 Juli 1919, Bupati, Asisten Residen, Kontrolir dan 20 polisi bersenjata pergi ke Cimareme menuju rumah H.Hasan. Pada saat itu rakyat pergi berduyun-duyun menuju rumah H.Hasan untuk melihat keadaan yang terjadi. Diantara mereka tidak ada yang bersenjata atau berpakaian putih, kecuali orang yang sangat dekat dengan H.Hasan dan keluarganya. Setelah sampai maka rombongan bertemu dengan H.Hasan, pada saat itu H.Hasan bertanya kepada bupati mengenai beberapa hal soal penjualan padi dan juga menanyakan soal kebenaran dari pernyataan wedana Leles yang mengatakan akan menyita sawahnya apabila tidak menjual 40 pikul padinya.

Ancaman itu ternyata tidak sesuai dengan ketetapan pemerintah. Sikap kasar dan ancaman wedana Leles merupakan factor pencetus perlawanan H.Hasan. Tindakan wedana telah menjadi penyebab yang penting dalam peristiwa Cimareme. Nama wedana menjadi hancur setelah penjelasan tersebut dan pada tanggal 5 Juli 1919 residen memerintahkan agar wedana Leles menyerahkan jabatannya kepada wedanan Tarogong yang sekaligus tanda dipecat dari pegawai pemerintahan.

Setelah terjadi perundingan permohonan H.Hasan tetap tidak dikabulkan Asisten Residen tetap pada prinsipnya sesuai dengan aturan yang berlaku untuk desa Cimareme. Tetapi Asisten Residen dan rombongannya merasa bahwa kehadirannya kurang beruntung. Dia merasa dikepung oleh pengikut H.Hasan yang berada disekitar rumah dalam jumlah yang besar. Memang pada hari itu di surau H.Hasan sedang diselenggarakan shalat jumat sehingga banyak orang yang berkumpul. Apalagi beberapa diantara mereka berbaju putih dan bersenjatakan golok. Ini menandakan bahwa H.Hasan sudah siap untuk melakukan perlawanan. Melihat hal ini Asisten Residen memerintahkan mereka untuk bubar dan dia beserta rombongannya langsung bubar meninggalkan tempat itu. Pertemuan itu berlangsung tegang namun tidak terjadi apa-apa dan H.Hasan diberi kesempatan 3 hari untuk berfikir.

Sementara itu situasi di Cimareme makin gawat, justru dalam tiga hari itu beberapa orang anggota Afdeling B dari Ciamis dan Tasikmalaya telah dihubungi oleh pimpinannya untuk berkumpul di Cimareme. Penundaan itu memang berakibat buruk. Secara moral kepercayaan pada jimat-jimat menjadi bertambah dipihak pembangkang. Pada hari minggu, 6 Juli 1919, bupati melaporkan kepada Asisten Residen Garut bahwa telah terjadi penyimpangan pada gerakan petani. Rumah-rumah yang berdekatan dengan H.Hasan sudah penuh dengan orang-orang yang berpakaian putih untuk melakukan perang sabil.

Anggota-anggota SI dari Nangkapait telah ambil bagian dari rencana perang sabil itu. Jadi tuntutan ekonomi sebagai pusat timbulnya peristiwa ini makin penting artinya dengan adanya kepercayaan agama yang mendasari suatu gerakan.

Kegelisahan petani juga terjadi di daerah-daerah Leles, Tarogong, Wanareja dan Nangkapait. Untuk menjaga ketertiban Asisten Residen perlu merasa untuk meminta bantuan pasukan militer dari Cimahi, Bandung. Pada tanggal 6 Juli 1919 sekitar jam 12.30, empat puluh orang infantry dibawah pimpinan Mayor Van Der Bie dan Letnan Hillen berangkat ke Garut, untuk memperkuat pasukan pemetintah dalam penangkapan H.Hasan. Selain itu juga datang pasukan bersenjata dari Tasikmalaya yang berjumlah 30 orang dibawah pimpinan komandan Raes.

Pada hari senin tanggal 7 Juli 1919 berangkatlah rombongan penangkapan H.Hasan ke Cimareme. Rombongan itu dibagi dalam beberapa kelompok. Rombongan pertama berangkat dengan menggunakan mobil terdiri atas Patih Garut, Wedana Bangbulang. Wedana Tarogong, Kepala Penghulu Garut dan dua orang agen polisi. Rombongan kedua berangkat dengan menggunakan kereta api dari stasiun Garut menuju stasiun Cibatu, mereka terdiri atas Wakil Kepala Penghulu Garut, penasihat agama Garut, Camat Kadungkora, Camat Nangkaruka, enam agen polisi dan dua orang haji yang dipercaya oleh pemerintah. Rombongan pejabat pribumi dan pasukan polisi bersenjata dibawah pimpinan komandan Raes telah tiba terlebih dahulu di Cimareme sebelum rombongan Residen dan serdadu dibawah pimpinan Mayor Van Der Bie sampai disana.

Setelah sampai di rumah H.Hasan yang berada didalam rumah, Patih memerintahkan agar keluar. H.Hasan segera keluar dengan diikuti oleh H.Gadjali dan sekitar 13 orang lainnya. Dihalaman itu terdapat 40 orang laki-laki yang berpakaian serba putih dengan senjata dipinggang semisal, kapak, keris dan kelewang tetapi tidak terdapat senjata api.

Sebagian besar dari mereka duduk di tanah. Kemudian Patih berbicara dengan ramah meminta agar H.Hasan untuk ikut ke Garut, agar masalahnya dapat diurus dengan baik. Akan tetapi H.Hasan menjawabnya dengan tenang, “Saya dan juga semuanya yang ada disini tidak akan tunduk pada perintah itu. Bukankan tuan Wedana dulu pernah mengatakan bahwa kami akan dikepung serdadu seluas dua pal!”. Selagi terjadi proses negosiasi terjadi suatu insiden. Opas Darga akan merampas senjata salah seorang yang duduk disitu. Dengan serentak mereka semua langsung berdiri dengan sikap garang dan semua anggota polisi siap untuk menembak. Akan tetapi Patih mengatakan: “Jangan, nanti dulu!”.

Setelah patih selesai berbicara, muncullah Kepala Penghulu yang menanyakan apa sebenarnya yang mereka kehendaki. Mereka mengatakan serentak akan melakukan perang sabil, karena menurut Wedana mereka akan dihancurkan oleh serdadu dalam jarak dua pal persegi.

Ketika perbincangan itu terjadi tiba-tiba saja rombongan Residen dan Bupati tiba, rombongan itu terdiri dari Residen Priangan, Asisten Residen Garut, Bupati Garut dan Mayor Van der Bie dengan pasukannya sekitar 40 orang. Rombongan pejabat pemerintah itu tiba langsung memasuki halaman sedangkan H.Hasan dan pengikutnya yang bersenjata itu tetap berada di dalam serambi rumah.

Pada saat itu orang-orang desa juga telah berkumpul di sekitar rumah H.Hasan mereka berjumlah kl. 1000-1500 orang. Untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan para serdadu polisi dan tentara tersebut diatur menjadi dua bagian, separo menghadap rumah H.Hasan dan separo lagi menghadap ke kerumunan penduduk.

Suasana jadi semakin tegang ketika pasukan tentara yang bersenjata lengkap bermanuver mengatur barisannya. Bupati kembali meminta H.Hasan untuk ikut ke Garut guna membicarakan masalah pembelian padi dengan tenang. Akan tetapi H.Hasan justru membalikkan tubuhnya, lalu masuk kedalam rumah diikuti oleh keluarga dan pengikutnya. H.Gadjali salah seorang pengikutnya tidak ikut masuk ke dalam karena ditahan oleh seorang opas. Serentak ketika mereka sudah berada didalam rumah semua pintu dan jendela ditutup rapat-rapat. Sebentar kemudian terdengar suara zikir dari dalam. Dari luar Bupati meyuruh H.Hasan untuk keluar rumah namun H.Hasan tidak meresponnya, sampai tiga kali Bupati dengan bantuan H.Gadjali meminta mereka semua yang ada di dalam rumah untuk keluar tapi tetap tidak di respon. Setelah satu jam menunggu, tiba-tiba H.Hasan keluar dan dia tidak menanggapi perintah Bupati tetapi malah mengucapkan kata-kata makian dan kembali masuk kedalam rumah. Sekali lagi H.Gadjali diperintahkan oleh Bupati untuk masuk kedalam rumah, namun malah tidak keluar lagi. Bahkan semua pintu dan jendela dikunci dari dalam.

Didalam rumah mereka terus berzikir bersama, sementara itu perintah agar keluar dari rumah terus diteriakkan dari luar. Karena tidak mendapat respon maka Mayor Belanda segera maju kedepan dan berbicara kepada Residen dan Bupati meminta agar memberi peringatan keras. Karena tidak tahu harus menggunakan cara apalagi maka Residen memerintahkan agar menangkap H.Hasan walaupun terpaksa dengan menggunakan senjata.

Serentak seluruh pasukan yang ada bersiap, separo mengarahkan senapannya ke rumah dan separo lagi berjaga-jaga kearah kerumunan warga. Dari dalam rumah terdengar suara zikir semakin keras terdengar. Salvo tembakan peringatan pertama kearah atas rumah terdengar. Terdengar suara zikir semakin meninggi. Bupati kembali berteriak memberikan perintah agar keluar. Salvo tembakan peringatan kedua kembali lagi di tembakkan ke arah atap rumah kembali dilepaskan tetapi tetap tidak ada respon. Orang-orang didalam rumah itu masih terus berzikir. Setelah itu tembakan betul-betul diarahkan ke rumah H.Hasan sampai beberapa kali, suara zikir berhenti, sesaat kemudian sunyi dan tidak lama kemudian terdengar ratap tangis wanita dan anak-anak.

Residen langsung memerintahkan kepada pasukannya untuk memasuki rumah dengan cara membongkar pintu. Rumah dapat dibuka lalu Mayor Van Der Bie dan anak buahnya masuk kedalam rumah dan memerintahkan agar yang masih hidup di dalam rumah segera keluar. Pada saat itu korban yang tewas didalam rumah adalah: H.Hasan dan keluarganya (istri dan anaknya), H.Bakar, Intasim, Sukanta, Engko, Udin dan Saedi sedangkan yang luka-luka berjumlah 20 orang. Semua korban yang tewas ditemukan menggunakan baju putih dan lilitan jimat dikepalanya sambil memegang senjata (golok, parang dan sabit). Sementara korban yang luka dibawa ke rumah sakit Garut untuk mendapat perawatan. Dari keseluruhan orang yang terlibat pada peristiwa itu yang ditangkap dan dihukum oleh pemerintah Belanda sebanyak 33 orang.

Untuk menunjukkan kepada seluruh warga yang menyaksikan kejadian itu maka semua korban yang tewas dipenggal kepalanya, sebagai peringatan kepada siapa saja, jika ada yang berani atau mau menentang pemerintahan colonial Belanda. Semua korban tewas dibawa menggunakan kereta api menuju Garut.

Berikut adalah kesaksian seorang wanita yang bernama Sukaesih:

“Mayat-mayat yang berlumuran darah itu dilemparkan saja kedalam gerbong untuk diangkut menuju Garut. Seluruh rakyat Garut harus tahu, upah bagi pemberontak, ialah kematian. Orang-orang berkerumun di stasiun Garut, suara-suaranya bergumam, mendengungkan berkumandang dan ketika gerbong yang tergenang darah itu tiba, gumam itu menjadi pekik yang dahsyat dari Rakyat yang melihat tubuh-tubuh yang sudah menjadi mayat dan berlumuran darah itu. Sontak karena kaget tanpa terasa Sukaesih menitik air mata dan dia juga melihat Rakyat sekitarnya juga merasakan hal yang sama. Terlihat juga dari sela-sela gerbong itu darah yang menetes. Mayat-mayat yang bergelimang darah itu tampak kemerahan, mereka melihat darah H.Hasan, keluarga dan pengikutnya itu seperti darah mereka sendiri, yaitu Darah Rakyat yang tertindas”. Terasa kemarahan dan dendam yang bergejolak di hati Sukaesih, terasa ada tungku dijantungnya, yang menyala dan membakar hebat darahnya dan dia seakan-akan melihat Belanda yang berdiri itu sebagai seekor lalat saja. Dia bergumam didalam hati “Aku mesti melawan. Mesti melawan”.

Tindak lanjut atas perlawanan H.Hasan

Setelah H.Hasan dan pengikutnya dilumpuhkan dengan tembakan salvo, pemerintahan colonial dihadapkan pada masalah yang menyangkut penjagaan ketertiban dan keamanan masyarakat. Selama beberapa hari setelah peristiwa penembakan, pejabat pemerintahan Garut dan polisi melakukan penahanan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam perlawanan H.Hasan. pemerintah setempat mengawasi dan menjaga keamanan secara ketat untuk mencegah kemungkinan terjadi ekor dari perlawanan H.Hasan.

Dapat dibayangkan bahwa suasana Garut pada waktu itu penuh kecurigaan, kemarahan, dendam, baik di pihak pemerintah maupun dikalangan rakyat. Kedatangan orang dari luar Cimareme dan pembicaraan yang dilakukan harus dilaporkan kepada Bupati. Polisi ditugaskan mengawasi serta mencatat keterangan mengenai identitas orang asing baik pribumi maupun orang Eropa. Warga dilarang berkumpul atau bergerombol lebih dari 4 orang.

Wartawan juga dilarang untuk datang ke kampung Cimareme. “Pajajaran” dan “Kaoem Moeda” yang akan mengirimkan wartawannya untuk menyelidiki peristiwa H.Hasan tidak diizinkan oleh pihak penguasa. Wignyadisastra yang menjabat Komisaris SI Jawa Barat dan redaktur kepala “Kaoem Moeda” dilarang ke Leles dan Cimareme.

Pemeriksaan dilakukan kepada orang-orang yang dicurigai akan melanjutkan perlawanan atau menunjukkan sikap agresif. Pemeriksaan juga dilakukan di rumah-rumah penduduk. Tindakan pemeriksaan antara dilakukan di rumah Kepala Desa Pesanggrahan, Kecamatan Nangkapait, Kewedanaan Cibatu. Seiring dengan tewasnya H.Hasan, Kepala Desa itu menghilang dan setelah rumahnya yang kosong itu digeledah ternyata ditemukan pakaian putih, jimat, kelewang dan keris. Di rumah istri keduanya juga ditemukan kain putih dan jimat.

Dari daerah ini telah ditahan juga lima orang anggota SI, diantaranya ketua SI Nangkapait dan Wanaraja. Dari mereka juga didapatkan pakaian putih dan jimat. Kepala Desa Pesanggrahan juga dicurigai telah membantu H.Hasan dalam melakukan perlawanan kepada pemerintah. Pada hari jumat malam tanggal 4 Juli 1919, setelah pada siang harinya para pejabat pemerintahan datang ke rumah H.Hasan, Kepala Desa Pesanggrahan datang ke rumah H.Hasan disertai dengan 300 orang anggota SI, kedatangan mereka bertujuan untuk membantu H.Hasan melakukan perang sabil. Karena di yakini bahwa akan segera pecah perang sabil maka setiap orang harus siap siaga dengan baju putih dan jimat. Keyakinan ini menyebabkan pada hari jumat itu kain putih dipasar habis terjual.

Jimat yang dipakai oleh orang-orang yang siap melakukan perang sabil diperoleh dari H.Soelaeman yang menjadi guru “ilmu” dan penasihat SI Ciawi. Dia bertempat tinggal di kampong Rancakayu, Desa Sukarame, kecamatan Ciawi, Tasikmalaya. Itulah sebabnya pada tanggal 8 juli 1919 rumah H.Soelaeman juga dilakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan di rumah-rumah telah berhasil mengumpulkan sejumlah surat dan catatan-catatan yang berisi tentang kegiatan dan rencana SI untuk melakukan perlawanan. Dari rumah-rumah yang dilakukan pemeriksaan di daerah Garut, ditemukan penyebaran kain putih dan jimat. Beberapa anggota pengurus dan banyak anggota SI di Priangan yang tersangkut dalam gerakan itu telah ditangkap. Melalui pemeriksaan orang-orang ini diketahui bahwa di Garut ditemukan sebuah gerakan yang bermaksud melawan pemerintah.

Terjadi sikap pro dan kontra terhadap tindakan pemerintah kepada H.Hasan dan pengikutnya. Golongan pro didukung oleh pegawai Belandan dan organisasi-organisasi seperti Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (NIVB), Christelijke Etische Partij (CEP) dan Politisch Economische Bond (PEB). Perkumpulan ini merupakan perkumpulan campuran yang bertujuan untuk membuat Indonesia dan Belanda tetap berada dalam satu ikatan. Sementara itu golongan yang kontra mengecam dengan keras tindakan pemerintah yang menembaki dengan sewenang-wenang H.Hasan dan pengikutnya. Diantara orang-orang dan organisasi yang mengecam paling keras dilakukan oleh ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereneging). ISDV menyalahkan tindakan itu seolah-olah kekuasaan dapat dijunjung tinggi dengan salvo tembakan. Tindakan penguasa itu semata-mata dilakukan karena takut kehilangan kekuasaan. Peristiwa itu dinilai sangat menyedihkan dan merupakan ekses dari politik pemerintah yang reaksioner.

Tokoh lain yang menyalahkan tindakan itu datang dari National Indische Partij (NIP) dalam Volkraad yang bernama Teeuwen, dia mengecam tindakan pemerintah itu, sama seperti pendapat ISDV yang mengatakan bahwa politik pemerintah sangat reaksioner. Sementara kecaman dari masyarakat pribumi datang dari berbagai pihak, Dwidjosewojo, wakil dari Boedi Oetomo di Volksraad, Semaun dari SI cabang Semarang, Agus Salim dari wakil SI di Volksraad, Tjipto Mangoenkoesoemo, wakil dari De Indische Partij di Volksraad.

Kelompok-kelompok kontra juga mengadakan rapat terbuka untuk memprotes rapat itu tindakan pemerintah Priangan dalam menanggapi masalah H.Hasan. Pada hari minggu tanggal 20 juli 1919 pukul 10 pagi diadakan rapat besar (vergadering) dari Radicale Concentratie, yaitu sebuah badan yang dibentuk oleh para anggota Volksraad yang progresif. Pada saat itu organisasi yang hadir adalah SI, Insulinde, Boedi Oetomo, ISDV, Pasundan dan Soematranenbond. Jumlah peserta yang hadir kl. 4000 orang.

Gerakan Afdeling B

Setelah dilakukan penyelidikan terhadap peristiwa Cimareme, maka tersingkaplah oleh pemerintahan colonial Belanda suatu gerakan rahasia yang dilakukan oleh Afdeling B. perhatian selanjutnya tidak lagi pada masalah pembelian padi, tetapi pada Afdeling B yang sedang merencanakan pemberontakan kepada pemerintah.

Afdeling B terdapat di Priangan, Jawa Barat dan mulai melakukan kegiatan sejak bulan April 1918. Pada mulanya gerakan ini mendapat restu dari SI Pusat, yang telah pula membentuk organisasi local yang disebut “Wargo Bekerja”. Ketua SI Pusat HOS. Tjokroaminoto, melihat Afdeling B pimpinan H.Ismail semacam “Wargo Bekerja”. Pada pertemuan SI Manonjaya pada bulan januari 1919, Sosrokardono, Sekertaris SI Pusat, menyetujui gerakan itu dan sejak saat itu menyebarlah didaerah Priangan. Afdeling B pada dasarnya merupakan perluasan dari proses transformasi SI local kedalam satu gerakan yang menjadi wadah penyalur aspirasi masyarakat.

Hingga terjadinya peristiwa Cimareme, Afdeling B masih bersifat sebagai gerakan rahasia. Gerakan ini sebetulnya sebagai persiapan untuk melakukan perang suci, yang ditujukan untuk orang-orang yang tidak teratur berdoa, orang yang berzina, orang kafir serta orang yang memburu anjing dan babi. Sama halnya dengan gerakan SI di daerah lain yang melancarkan permusuhan dengan pejabat pribumi dan Eropa.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Afdeling B yaitu penjualan jimat dan pelaksanaan sumpah rahasia. Kegunaan jimat itu telah menjadi kepercayaan sebagian rakyat, sehingga penjualannya laku sekali. Jimat yang berupa tulisan Arab, pada kertas dan kain putih, di jual oleh H.Soelaeman dari Ciawi.

Hasil penjualan jimat itu seluruhnya disetorkan kepada H.Ismail. pada umumnya yang boleh membeli jimat itu hanya anggota SI, selain itu para pemimpin Afdeling B juga menjual tanda pengenal berupa medali yang diikat pada tali jam dan sebuah kancing kerah hem dari perak. Kedua benda itu yang dilengkapi dengan inisial SI dibeli oleh masing-masing anggota seharga 1.5 gulden.

Untuk melancarkan pemberontakan seperti yang telah direncanakan, dibuat sandi-sandi baik berupa gerakan maupun lambang. Adapun tanda waktu dilakukan pemberontakan menggunakan kode-kode sebagai berikut: angka pertama menunjukkan jam, angka kedua tanggal, angka ketiga bulan, dan angka keempat tahun (Arab). Adanya tanda hitam dan putih pada kertas telegram menunjukkan bahwa pemberontakan akan dilakukan pada malam dan siang hari. Tempat dimulainya gerakan adalah tempat telegram berasal. Seminggu sebelum tanda dimulainya pemberontakan maka kawat-kawat telepon akan diputus, pohon-pohon akan ditebangi untuk merintangi jalan dan jembatan akan dihancurkan agar polisi tidak dapat mengirim bantuan. Anggota-anggota Afdeling B terdapat di Bandung, Batavia, Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi. Jadi gerakan itu sudah berada di seluruh Priangan.

Munculnya gerakan Afdeling B disebabkan oleh dominasi politik colonial yang menimbulkan perubahan social yang mengakibatkan kemerosotan ekonomi, disintegrasi budaya dan penindasan politik. Keadaan ini menimbulkan rakyat hidup sengsara, menderita dan tertekan sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Karena keresahan ini maka lahirlah gerakan social yang menolak tata tertib social yang sedang berlaku dan menentang penguasa.

Penyebab lain adalah keyakinan umum akan terjadinya perang suci. Kepercayaan ini dipadukan dengan kepercayaan datangnya Ratu Adil yang hendak mengubah kesengsaraan dan penderitaan. Mereka percaya bahwa Ratu Adil akan datang setelah perang suci. Perpaduan antara sifat-sifat mesianistis dan milenaristis ditambah dengan penggunaan jimat, makin menunjukkan ciri tradisional dari gerakan Afdeling B.

Setelah disadari bahwa Afdeling B tidak sesuai dengan SI, maka pada bulan Febuary 1919 Tjokroaminoto memerintahkan H.Ismail membubarkan gerakan itu. Dia berpendapat bahwa gerakan Afdeling B akan mengganggu kepentingan umum dan Negara. Tapi himbauan Tjokro itu sudah terlambat karena Afdeling B sudah bergerak secara rahasia bergerak dibawah tanah diantara kiai-kiai. Mereka berkeliling di seluruh Priangan di sekolah-sekolah agama, pesantren dan madrasah untuk menyebarkan pendapat Afdeling B.

Selain Tjokroaminoto yang melarang gerakan itu, polisi dan pemerintahan colonial Belanda sudah mulai dapat mencium gerakan yang dilakukan Afdeling B sehingga mereka memperkuat penjagaan dan pengawasan di tempat-tempat yang dianggap mencurigakan. Selanjutnya polisi dan militer ditempatkan di daerah Priangan Timur terutama di daerah Ciamis, Tasikmalaya da Garut.

Menutur Residen De Stuers, antara Afdeling B dan peristiwa Cimareme tidak ada sangkut-pautnya, peristiwa itu merupakan perkara yang berdiri secara terpisah. Bukti-bukti menunjukkan bahwa peristiwa Cimareme tidak dipimpin oleh Afdeling B tetapi oleh H.Hasan dan H.Hasan juga bukan merupakan anggota SI. H.Hasan juga tidak pernah meminta bantuan kepada orang-orang Afdeling B.

Kesan yang menunjukkan seolah-olah ada hubungan antara perlawanan H.Hasan dan gerakan Afdeling B adalah kedatangan para anggota Afdeling B ke Cimareme. Pada tanggal 4 juli 1919 ketika kunjungan Asisten Residen ke rumah H.Hasan banyak anggota Afdeling B yang datang ke Cimareme. Dan pada tanggal 7 juli H.Mansur ketua Afdeling B Pameungpeuk Bandung datang bersama 100 orang anak buahnya yang lengkap membawa senjata tajam untuk membantu H.Hasan tetapi kedatangan mereka terlambat karena H.Hasan sudah tewas tertembak.

Pada tahun berikutnya penyelidikan mengenai gerakan Afdeling B membuktikan bahwa Sosrokardono terlibat karena kehadirannya dalam rapat-rapat anggota Afdeling B di Manonjaya dan Ciamis. Dia ditangkap dan kemudia dipenjara selama 4 tahun. Dalam tahun itu juga Tjokroaminoto juga ditahan dan dituduh memberikan keterangan palsu pada pengadilan Sosrokardono dan ditahan selama beberapa bulan serta baru dibebaskan pada tanggal 5 April 1922. Upaya penangkapan lain kepada orang-orang yang dianggap terlibat pada gerakan Afdeling B juga dilakukan, di Batavia dua orang anggota SI juga ditangkap yaitu Alimin dan Musso, mereka berdua baru dibebaskan pada tahun 1923.

Banyak anggota SI Priangan juga ditangkap karena dituduh terlibat dalam gerakan Afdeling B, bahkan SI Garut membubarkan diri, meskipun pembubaran itu tidak disetujui oleh SI pusat. Akibat peristiwa Garut, SI mengalami penurunan jumlah anggota. Jumlah anggota yang pada waktu itu dinyatakan sebanyak 1 juta pada tahun 1920 mengalami penurunan. Hal ini karena kesukaran-kesukaran yang berhubungan dengan pemerintah. Ketika terjadi perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI) pada tahun 1920 yaitu SI Merah yang dipimpin oleh Semaun & Darsono, dan SI Putih yang dipimpin oleh HOS. Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdul Moeis, maka SI cabang Priangan beserta seluruh organisasi yang berafliasi dengannya ikut kedalam kubu SI Merah. Ini disebabkan karena ketidakpuasan mereka melihat para pimpinan-pimpinan SI Pusat yang masih mau berkompromi dengan pemerintah kolonial Belanda.

----------

Catatan:

• 1 bau: ukuran luas sawah 7098 m2.

• 1 pikul: atau datjin kl. 62.5 kg.

• 1 pal: jarak 1506 meter.

• Tukang borong: orang yang pekerjaannya membeli tanaman.

• Tukang pak: sebelum dipanen.

• Tani sentana: petani yang memiliki sawah dan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

• Tukang Ijon: orang-orang yang mengambil keuntungan dari kebutuhan kaum tani akan uang tunai dengan membeli hasil-hasil bumi secara murah pada waktu tanaman masih belum matang (masih hijau). Dengan demikian mereka menguasai hasil produksi kaum tani. Praktek tukang Ijon merupakan praktek yang jahat sekali yang langsung merusak daya produksi kaum tani dan mempercepat proses pembangkrutan mereka.

• Sukaesih: pada saat pecahnya SI menjadi dua kelompok yaitu SI Putih dan SI Merah, Sukaesih menjadi anggota SI Merah yang telah berubah namanya menjadi Sarekat Rakyat Merah pada tahun 1921, karena kerjanya yang tekun dan mengabdi pada Rakyat maka tahun 1922 Sukaesih diangkat menjadi anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) cabang Priangan dan sekaligus menjadi pimpinan dari Sarekat Rakyat Istri. Pada saat pemberontakan PKI di Priangan pada bulan November tahun 1926 kepada pemerintahan colonial Belanda, Sukaesih dan teman-temannya berhasil di tangkap dan pada awal tahun 1927 dia bersama ribuan tahanan yang lain dibuang ke Digul (Papua Barat).

**
DAFTAR PUSTAKA

• Prof. Iwa Kusuma Sumantri, Sejarah Revolusi Indonesia - Masa Perjuangan Sebagai Perintis Revolusi, Jilid Pertama, Juni 1963.

• Chusnul Hayati, Peristiwa Cimareme 1919 – Perlawanan H.Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi, September 2000.

• Tatang Sumarsono, Pemberontakan Cimareme, Pustaka Jaya, 1986.

• DN. Aidit, Kaum Tani Mengganyang Setan Desa – Laporan Singkat tentang Hasil Riset mengenai Keadaan Kaum Tani dan Gerakan Tani di Djawa Barat, Jajasan Pembaruan 1964.

• Api ’26, Jajasan Pembaruan 1961.