18 September 2019

TASAWUF DALAM SECOBEK SAMBAL

Sambal itu satu tetapi bermacam-macam jenis, nama dan rasanya. Menyatukan semua rasa, apakah itu asin, kecut, masam, gurih, manis ataupun pedas. Begitupun manusia, meski komposisi organ-organ tubuhnya sama tetapi bisa berbeda karakter, pemikiran dan sifatnya.

Saat garam, gula merah dan cabe bisa menyatu, mereka akan meleburkan dirinya masing-masing. Mereka akan saling berkoordinasi serta bekerjasama dalam kebersamaan, sampai akhirnya semuanya pun ikhlas saat dinamai Sambal.

Mereka tetap tawadhu dengan menghindar dari jebakan ego masing-masing saat bersama. Tidak ada itu sambal garam, sambal gula, ataupun sambal cabe. Bahkan mereka akan mempersilakan siapapun yang ingin berkolaborasi. Terasi datang, silakan dinamai Sambal Terasi. Mangga ikut, monggo kalaupun dinamakan Sambal Mangga. Bahkan pete yang bau ikut pun akan dinamakan Sambal Pete. Kenapa..? Karena bagi mereka yang lebih penting itu adalah membawa pesan kenikmatan dalam hal rasa bagi lidah manusia.

Jika saja manusia bisa meniru sambal dalam ketawadhuannya, maka jiwa-jiwa manusia pun akan mendapat kebahagiaan, serta spiritualnya pun akan terpuaskan. Saat ego-egonya bisa saling melebur dan bisa bekerja sama secara harmoni, maka tujuan hidup pun akan tampak jelas. Sang diri akan menjadi sumber kebahagiaan, dimana ia akan bahagia saat bisa melayani dirinya, keluarganya, orang lain serta lingkungan sekitarnya.. seperti halnya secobek sambal yang menawarkan kenikmatan. Iya, kepuasan, kenikmatan dan kebahagiaan.

Hidup dan menikmati hidup itu sebaiknya seperti menikmati sambal. Tidak hanya melihat cabenya saja yang pedas, lalu segala sesuatu yang terjadi dianggap membuat buas. Tidak hanya melihat garamnya saja yang asin, lalu segala sesuatu yang terjadi dianggap toksin. Tidak hanya melihat gulanya saja yang manis, lalu segala sesuatu yang terjadi dianggap bisnis. Tidak hanya melihat tomatnya saja yang masam, lalu segala sesuatu yang terjadi dianggap dendam. Bahkan tidak hanya melihat terasinya saja yang bau, dan segala sesuatu yang terjadi dianggap bikin malu.

Kejadian yang awalnya dianggap buruk dan merugikan dalam pandangan sang diri, siapa tahu itu baik dan menguntungkan menurut Tuhan. Bukankah Tuhan selalu memberi yang terbaik, meski manusia seringkali menganggap sebaliknya. Seperti halnya orang-orang tersenyum saat melihat tangisan seorang bayi yang lahir ke dunia, ataupun orang-orang bersedih saat melihat anggota keluarganya meninggal meskipun meninggalnya dalam kebahagiaan.

"Jika kau menginginkan kesenangan,
Sepenuhnya lepaskan semua kemelekatan.
Dengan melepaskan semua kemelekatan,
Kesenangan paling sempurna ditemukan.
Selama kau mengikuti kemelekatan,
Kepuasan tidak akan pernah ditemukan.
Siapapun menjauhi kemelekatan,
Dengan kebijaksanaan mencapai kepuasan.." (Sidharta Gautama)

Nikmat itu akan datang ketika kejadian-kejadian yang teralami dengan bermacam-ragam efeknya tersebut bisa diterima dengan ikhlas. Dan keikhlasan ini yang akan membuka pikiran dan hati untuk membuka lembaran petunjuk dan hikmah dari langit.

Kesimpulan yang terburu-buru diambil terhadap sebuah kejadian yang tidak sesuai ekspektasi seringkali mengurangi bahkan menghilangkan rasa syukur dan kebahagiaan.. seperti halnya menghakimi pedasnya setiap sambal dengan tergesa-gesa, padahal sambal non-pedas yang enak pun ada.

Ahh.. dan nikmat pedasnya sambal pun menanti rangkulan helai-helai daun muda.

Semoga...
#ombad #tasawuf #dalam